Vanilla duduk di sofa ruang tengah apartemen Axel, sesaat setelah kembali dari kamar mandi. Ia menarik nafas pelan, mencoba menenangkan debar jantung yang belum juga mereda. Sambil duduk bersandar, tangannya mengelus pelan lengan sofa, matanya menjelajah ruang tamu yang kini tampak sedikit berbeda. Axel terdengar sedang di dapur, mungkin tengah membuat sesuatu. Suara dentingan gelas terdengar samar, namun cukup untuk memberinya rasa tenang di tengah keheningan yang mengisi ruangan.
Apartemen ini terasa lebih penuh sekarang, pikir Vanilla. Ada beberapa perubahan yang membuat ruangan ini terlihat lebih hidup, lebih hangat. Ia memandangi dua lukisan abstrak yang terpasang rapi di dinding, memperhatikan televisi yang kini berukuran lebih besar dari yang ia ingat. Partisi minimalis yang baru memisahkan ruang tengah dan ruang tamu, memberikan kesan privasi yang lebih baik. Vanilla tersenyum tipis. Axel benar-benar sudah membuat tempat ini terasa lebih nyaman, tanpa kehilangan kesan maskulinnya.
Tak lama, Axel muncul dari dapur dengan langkah santai, membawa satu cangkir berisi matcha panas di atas tatakan. Perlahan, ia meletakkan cangkir itu di meja di samping kiri Vanilla, tepat di jangkauannya. "Gue inget lo suka matcha," ucap Axel dengan senyum lembut.
Vanilla menatap cangkir itu, mengangkat alis sambil tersenyum kecil. "Wah, ternyata kak Axel bisa ya buat minuman gini."
Axel tergelak, suara tawanya pelan namun hangat. Ia berjalan menuju sofa di seberang, duduk di sana dengan sedikit hati-hati, seperti sengaja menjaga jarak. Tangannya terlipat di dada, matanya tak lepas dari Vanilla. "Gue nggak separah itu," katanya santai sambil menunjuk ke arah cangkir, "buruan diminum, keburu dingin."
Vanilla mengangguk, meraih cangkir itu dengan kedua tangannya. Ia menyesapnya perlahan, membiarkan rasa matcha yang hangat mengalir di tenggorokannya, memberikan rasa nyaman yang tak terduga. Entah kenapa, ia merasa sedikit lebih baik. Mungkin karena minuman ini adalah favoritnya. Atau mungkin... karena Axel ada di sini bersamanya.
Ia menunduk sedikit, tersenyum samar. "Ah, itu tidak mungkin," gumamnya dalam hati. Vanilla tidak pernah merasa se-melankolis ini sebelumnya.
Setelah setengah cangkir habis, Vanilla mengangkat pandangannya. "Kak Axel juga suka matcha?"
Axel menggeleng sambil tertawa kecil. "Gue belum pernah nyobain matcha sebelumnya. Asumsi gue, rasanya nggak cocok sama lidah gue yang lebih suka kopi atau rasa-rasa yang pahit." Ia menunjuk ke arah dapur. "Itu bungkusan matcha udah ada di pantry cabinet sekitar dua bulan yang lalu. Lo yang beli, kan?"
Vanilla terdiam sesaat, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat tanpa alasan yang jelas. Tatapannya beralih dari Axel, mencoba menghindari kontak mata sambil menyesap matcha lagi, dua tegukan. Ada sesuatu dalam perasaan bahwa Axel masih menyimpan matcha itu untuknya yang membuat hati Vanilla terasa hangat. Namun ia menolak untuk terlalu terbawa perasaan. "Cukup, Vanilla... itu cuma kebetulan," pikirnya.
Axel mendekat, duduk di samping Vanilla dengan gerakan perlahan, hingga jarak mereka kini lebih dekat, tapi masih terasa wajar. Vanilla tidak terkejut, karena ia tahu Axel pasti akan segera ingin membicarakan alasan kedatangannya.
Axel menatapnya lekat-lekat. "Lo tiba-tiba datang setelah kita ngobrol di Foxy... Gue kira lo mabuk atau apa," katanya, matanya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. "Malam-malam pula."
Vanilla menggigit bibir bawahnya, mengubah posisi duduk agar bisa menatap Axel dengan lebih leluasa. Perlahan, ia menarik nafas dalam, lalu memutuskan untuk berbicara. "Aku akan jelaskan semuanya, mulai dari perasaan aku dan mungkin juga bagaimana kondisi aku. Karena... selama ini, cuma kak Axel yang membuka diri."
Axel mengangguk, memberikan senyum lembut yang seakan ingin meyakinkan Vanilla bahwa ia mendengarkan dengan penuh perhatian. "Pelan-pelan aja. Gue udah bilang, ambil semua waktu yang lo butuhin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanàtico
Romance[COMPLETED] Pipiku memanas dan gerak tanganku otomatis berhenti sehingga bentuk yang seharusnya hanya sebaris, kini telah menjadi titik gelap berwarna hitam yang tintanya merembes seperti tangisan. Aku tidak sadar karena aku seperti terhipnotis. Tub...