Kami melanjutkan perjalanan pulang dengan suasana yang agak canggung. Playlist yang pernah kami susun bersama mengalun pelan dari speaker mobil, namun suasana hati kami tidak seharmonis musik yang diputar. Aku mencoba menghilangkan kegelisahan yang masih membayangi pikiran, meskipun butuh waktu bagi kami untuk merasa nyaman lagi setelah ketegangan yang baru saja terjadi.
Axel mengikuti petunjuk jalan yang kuberikan tanpa menggunakan peta digital. Aku terpaksa tetap terjaga, menjaga agar tidak melewatkan belokan atau jalan kecil yang mungkin tidak dia ketahui. Rasanya lima belas menit berlalu dengan cepat saat kami tiba di depan pagar rumahku yang sudah lama tak kukunjungi. Rumah itu tampak sama seperti dulu, namun ada perasaan asing yang merayap ketika melihatnya kembali setelah bertahun-tahun.
Satpam penjaga rumah mendatangi mobil kami, mengamati dengan seksama sebelum Axel menurunkan kaca jendela untuk menyapa. Pak Kardi, satpam yang sudah bekerja lama di rumah ini, awalnya mengerutkan kening melihat Axel, namun senyumnya merekah saat melihatku mencondongkan tubuh ke arah jendela.
"Mbak Vanilla, sudah lama saya nggak lihat. Ayo masuk, biar saya bukakan gerbangnya," katanya dengan aksen Jawa Tengah yang khas, membuatku tersenyum.
Aku menoleh pada Axel dan mengangguk ketika dia bertanya, "Staff lama?" dengan suara pelan, seolah tidak ingin mengganggu momen ini. Senyum kecil yang kuperlihatkan sudah cukup menjawab rasa ingin tahunya. Setelah Axel memarkir mobil, aku bergegas keluar untuk menyapa Pak Kardi. Beliau sudah menunggu di dekat air mancur, menyambutku dengan antusiasme yang membuat hatiku hangat.
"Wah, saya udah lama nggak lihat mbak Vanilla ke Indonesia. Biasanya cuma bapak sama ibu yang datang," katanya sambil menjabat tanganku dengan erat.
"Saya kuliah pak, udah lama juga di Indonesia," jawabku, disertai tawa kecil saat mendengar komentar beliau tentang kemampuan berbahasa Indonesianaku yang masih fasih. Axel kemudian keluar dari mobil, menyapa Pak Kardi sekadarnya sebelum kembali bersamaku. Pak Kardi pun kembali ke posnya setelah memastikan kami masuk dengan aman. Aku mengamati Axel yang tampak tenang, meskipun situasi ini mungkin agak asing baginya. Kami membawa beberapa paper bag berisi bolu yang direkomendasikan oleh Mama Axel.
Saat kami masuk ke dalam rumah, suara riang seorang anak kecil menarik perhatianku. Viona, anak tanteku yang berusia empat tahun, sedang bermain di ruang tamu bersama susternya. Matanya berbinar saat melihatku, seolah dia masih mengenaliku meskipun sudah lama tidak bertemu.
"Va... nii... laaa," dia mengeja namaku dengan tawa ceria sebelum aku sempat bertanya.
Aku tersenyum lebar, merasa terharu bahwa Viona masih mengingatku. Aku segera mendekatinya, mengangkat tubuh mungilnya ke dalam pelukan. Dia mengangguk dengan semangat saat kutanya apakah dia masih mengenalku, kemudian aku menoleh ke arah susternya yang juga kukenal dengan baik.
"Sus, Tante dimana?" tanyaku dengan ramah.
"Ibu ada, tadi sih di dekat kolam sama bapak dan mas Mario. Mau saya panggilkan atau mbak Vanilla yang ke sana?" balasnya.
"Saya langsung masuk aja ya, Sus. Sama ini..." aku menunjuk beberapa paper bag di lantai. "Tolong bawakan ya, saya mau gendong Viona dulu."
Axel memperhatikanku dari belakang dengan ekspresi tenang, tetapi matanya mengamati setiap gerakanku dengan penuh perhatian. "Ayo masuk," ajakku padanya.
Aku memasuki rumah dengan percaya diri, menggendong Viona sambil berjalan menuju kolam renang yang masih kuingat letaknya. Langkahku terhenti sejenak di ruang makan, dan aku meminta Axel untuk meletakkan tiga paper bag yang dia bawa di meja sebelum kami melanjutkan langkah menuju kolam renang.
Suara tawa terdengar dari arah kolam, menandakan bahwa Mario dan Om Erick sedang bermain air. Ketika pintu menuju kolam terbuka, aku melihat mereka sedang asyik bermain, sementara Tante Pevita duduk di gazebo pinggir kolam, menonton film di layar ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanàtico
Romance[COMPLETED] Pipiku memanas dan gerak tanganku otomatis berhenti sehingga bentuk yang seharusnya hanya sebaris, kini telah menjadi titik gelap berwarna hitam yang tintanya merembes seperti tangisan. Aku tidak sadar karena aku seperti terhipnotis. Tub...