Berita keadaan Vanilla yang kritis menghantam orang tuanya di Rusia bagai petir yang menyambar. Sergei Ivanov, seorang diplomat senior berusia lima puluh tahun dengan rambut kelabu dan mata biru yang tajam, merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak saat menerima kabar itu. Di sampingnya, Natalya Ivanova, empat puluh lima tahun, ahli politik internasional dengan wajah cantik yang kini pucat pasi, jatuh terduduk di sofa, tangannya gemetar memegang telepon.
Tanpa sempat mempersiapkan diri, mereka segera memesan tiket penerbangan pertama ke Jakarta. Sepanjang perjalanan empat belas jam yang terasa seperti selamanya, Sergei dan Natalya duduk dalam diam, tangan mereka saling menggenggam erat, mata mereka kosong menatap ke kegelapan di luar jendela pesawat.
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, mereka disambut oleh staf kedutaan Rusia yang telah menunggu. Dengan wajah kusut dan mata sembab, Sergei dan Natalya diantar menuju kediaman Pevita di kawasan elite Jakarta Selatan setelah mendapatkan berita lebih lanjut, jika putrinya telah tiada.
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam, hanya sesekali terdengar isakan tertahan dari Natalya.
Kediaman Pevita telah diselimuti aura duka. Bunga-bunga pelayat memenuhi halaman depan, dan orang-orang berpakaian hitam berlalu lalang dengan wajah sendu. Saat Sergei dan Natalya melangkah masuk, semua mata tertuju pada mereka, memancarkan simpati yang dalam.
Di ruang utama, tempat peti jenazah Vanilla diletakkan, Axel berdiri dengan wajah pucat dan mata merah. Begitu melihat orang tua Vanilla, ia segera menghampiri mereka, berusaha menguatkan diri meski hatinya sendiri remuk redam.
"Mr. Ivanov, Mrs. Ivanova," ucap Axel dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca menahan tangis. "Saya... saya sangat menyesal atas kejadian ini. Saya berjanji akan mendampingi Vanilla sampai akhir."
Sergei menatap Axel lekat-lekat, matanya merah dan lelah namun masih memancarkan ketegasan seorang diplomat.
"Terima kasih, Axel," balasnya dengan suara parau. "Kami tahu kamu sangat berarti bagi Vanilla. Kami... telah mengamati hubungan kalian dari jauh."
Natalya, yang sejak tadi hanya terdiam, tiba-tiba mendekati Axel dan memeluknya erat. Air matanya mengalir deras membasahi bahu pemuda itu. "Terima kasih telah berada di sisinya," bisiknya di sela isakan. "Kami tahu Vanilla sangat mencintaimu."
Axel, yang selama ini berusaha tegar, akhirnya tak kuasa menahan tangisnya. Ia membalas pelukan Natalya, dan untuk beberapa saat, mereka bertiga berdiri di sana, larut dalam kesedihan yang sama, saling menguatkan dalam diam.
Setelah pertemuan yang mengharukan dengan orang tua Vanilla, Axel kembali ke sisi peti jenazah kekasihnya. Ia duduk di kursi yang telah ia tempati selama berjam-jam, tangannya tak pernah lepas dari tangan Vanilla yang kini dingin dan kaku. Matanya yang sembab menatap wajah cantik Vanilla yang terlihat damai, seolah hanya tertidur.
Sementara itu, Pevita, tante Vanilla yang menjadi tuan rumah, sibuk mengatur segala keperluan pemakaman. Dengan wajah lelah namun tetap tegar, ia mondar-mandir menerima tamu dan mengkoordinasikan berbagai hal dengan bantuan suaminya.
"Bunga-bunga tambahan sudah datang, diletakkan di mana?" tanya seorang asisten.
Pevita menghela napas, "Tolong atur di sekitar peti, pastikan tidak menghalangi jalan para pelayat."
Sementara itu, di sudut ruangan, Sergei dan Natalya duduk berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat. Mereka menerima pelayat yang datang silih berganti, mendengarkan cerita-cerita tentang Vanilla dengan mata berkaca-kaca.
"Vanilla selalu ceria dan penuh semangat," ujar seorang wanita paruh baya, teman kerja Natalya. "Dia gadis yang sangat manis."
Natalya tersenyum lemah, "Terima kasih. Dia memang selalu seperti itu sejak kecil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanàtico
Romansa[COMPLETED] Pipiku memanas dan gerak tanganku otomatis berhenti sehingga bentuk yang seharusnya hanya sebaris, kini telah menjadi titik gelap berwarna hitam yang tintanya merembes seperti tangisan. Aku tidak sadar karena aku seperti terhipnotis. Tub...