Jam sembilan pagi, cahaya matahari mulai menerobos tirai tipis di kamar Vanilla, menciptakan pola cahaya yang lembut di dinding. Vanilla terbangun oleh suara alarm yang berdering keras, mengisi keheningan pagi. Ia mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa pagi sudah tiba. Di sampingnya, Axel hanya mengerang, suaranya berat dan serak, terganggu oleh suara alarm. Dia menggeliat sedikit, lalu kembali menutup matanya rapat-rapat, seolah ingin menghindar dari hari yang baru. Tangannya secara refleks mempererat pelukan di perut Vanilla, membuat gadis itu sedikit terkekeh.
"Aku bangun dulu ya, mau buat sarapan," ucap Vanilla sambil membelai tangan Axel yang melingkar di pinggangnya.
Axel, yang masih setengah terlelap, hanya bergumam pelan, "Gak usah, makan di luar aja gimana?" Suaranya terdengar berat, dan matanya tetap tertutup rapat, seolah menolak kenyataan bahwa pagi telah datang.
Mendengar itu, Vanilla menghentikan gerakannya dan menoleh. Axel masih terbaring, matanya terpejam dengan ekspresi yang tenang. "Mau keluar? Naik apa?" Vanilla mengingat percakapan mereka semalam, saat Axel bilang akan pulang naik taksi, artinya cowok itu tidak membawa mobilnya ke sini. Rasa penasaran tercetak di wajahnya, alisnya sedikit terangkat.
Axel, yang masih berada di ambang tidur dan sadar, menghela nafas pelan. Perlahan, dia membuka matanya, tampak kesulitan menahan kantuk yang masih menyelimuti. Senyum tipis yang terkesan tanpa dosa muncul di bibirnya, seolah dia tidak menyadari kebohongan kecil yang baru saja diucapkannya. "Aku bawa mobil kok," jawabnya dengan nada ringan, tapi hal itu membuat Vanilla mendecak kesal. Dengan cepat, dia melepaskan diri dari pelukan Axel dan bangkit dari tempat tidur.
"Harusnya aku lebih peka lagi kalau mau dibohongin," Vanilla bergumam dengan nada setengah kesal sambil berjalan menuju kamar mandi. Dia menggigit bibirnya, sedikit kesal karena merasa terlalu mudah percaya.
Axel duduk di atas ranjang, bersandar pada kepala tempat tidur. Matanya yang sedikit sembab dan rambut yang acak-acakan menambah kesan baru bangun tidur. Suaranya masih serak ketika dia bertanya, "Kamu nggak seneng aku nginep?"
Vanilla, yang sedang mengambil handuk di lemari, menoleh cepat. Ia berdiri dengan tangan berkacak pinggang, memperlihatkan sikap tegas yang jarang ia tunjukkan. "Daripada kelamaan nih ya, mending kamu siap-siap di kamar mandi luar. Ini udah hampir siang dan aku udah laper," ucapnya sambil mengarahkan pandangannya ke Axel, menuntut aksi yang cepat dari cowok itu.
Axel hanya bisa mengangguk pelan, merasa sedikit bersalah tapi tetap tersenyum tipis. "Makanya, ngapain ART nya kamu suruh berhenti segala?" tanyanya, mencoba menggoda sambil perlahan menyibak selimut yang menutupi kakinya.
Vanilla memicingkan mata, merasakan ada yang tidak beres. "Kamu tau darimana aku nyuruh berhenti ART?" tanyanya dengan nada curiga. Tapi Axel hanya terkekeh, menyimpan rahasianya, lalu beranjak dari tempat tidur.
"Ada deh," jawab Axel singkat sambil berjalan menuju pintu. "Udah sana mandi. Aku mau ngerokok dulu," katanya sebelum keluar dari kamar, meninggalkan Vanilla yang masih sedikit bingung tapi tidak terlalu mempermasalahkannya.
Vanilla tahu, Axel pasti mendapat informasi itu dari Della, sahabatnya yang memang sering mengawasi kehidupan pribadinya. Axel selalu punya cara untuk tahu segalanya, pikir Vanilla sambil menghela nafas panjang, lalu melangkah ke kamar mandi.
Lima belas menit kemudian, Vanilla sudah siap dengan pakaian kasualnya, siap untuk keluar mencari sarapan. Dia berjalan keluar kamar dan melihat Axel masih berdiri di balkon, merokok sambil memainkan ponselnya. Asap rokok mengepul tipis, menghilang di udara pagi yang sejuk. Axel terlihat santai, belum juga mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanàtico
Romance[COMPLETED] Pipiku memanas dan gerak tanganku otomatis berhenti sehingga bentuk yang seharusnya hanya sebaris, kini telah menjadi titik gelap berwarna hitam yang tintanya merembes seperti tangisan. Aku tidak sadar karena aku seperti terhipnotis. Tub...