Setelah beberapa jam penantian yang menegangkan, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat. Wajahnya terlihat lelah namun profesional. Axel, Andreas, dan Riri segera menghampirinya, jantung mereka berdebar kencang menanti kabar.
"Keluarga Nona Vanilla?" tanya dokter itu, matanya menyapu wajah-wajah cemas di hadapannya.
"Saya," Axel menjawab cepat, suaranya serak. "Bagaimana keadaannya, Dok?"
Dokter itu menarik napas dalam sebelum berbicara, "Nona Vanilla mengalami cedera yang cukup serius. Ada pendarahan internal di kepalanya yang membutuhkan tindakan operasi segera. Selain itu, lengan kanannya patah dan ada beberapa luka dalam di bagian torso. Kami sudah melakukan yang terbaik untuk menstabilkan kondisinya, tapi..."
Axel merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Tapi apa, dok?" desaknya, suaranya bergetar.
"Kondisinya masih kritis. 24 jam ke depan akan sangat menentukan. Kami akan terus memantau perkembangannya," lanjut dokter itu dengan hati-hati.
Axel merasa lututnya lemas. Andreas segera menopang tubuh putranya yang hampir ambruk. Riri menutup mulutnya, air mata mengalir di pipinya.
"Bisakah... bisakah saya melihatnya?" tanya Axel lemah.
Dokter itu mengangguk. "Sebentar lagi dia akan dipindahkan ke ICU. Anda bisa melihatnya setelah itu, tapi hanya sebentar."
Sementara menunggu Vanilla dipindahkan, Axel akhirnya setuju untuk mendapatkan perawatan atas luka-lukanya sendiri. Perawat membersihkan dan membalut luka di kepalanya, serta memeriksa rusuknya yang memar. Rasa sakit fisik yang dia rasakan tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Beberapa saat kemudian, Axel diizinkan masuk ke ruang ICU. Pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya serasa diremas. Vanilla terbaring lemah di ranjang, dikelilingi berbagai peralatan medis. Wajahnya yang biasanya cerah kini pucat pasi, dengan perban melilit kepalanya. Lengan kanannya dalam gips, dan selang-selang infus menancap di lengan kirinya.
"Hey, sayang," bisiknya lirih. "Aku di sini. Kamu harus kuat ya? Kamu harus bertahan buat aku." Suaranya pecah oleh emosi yang membuncah.
Axel duduk di kursi samping ranjang Vanilla, matanya terus memandang wajah gadis itu yang masih tak sadarkan diri. Memori-memori indah bersama Vanilla seolah terputar jelas di benaknya, membuat hatinya terasa semakin berat. Ia teringat saat-saat bahagia mereka, mulai dari pertemuan pertama hingga momen-momen manis yang mereka bagi bersama.
Axel ingat saat pertama kali bertemu Vanilla di malam hari, sebuah perlombaan balap yang membuat Vanilla mungkin membencinya. Namun senyum gadis itu yang tulus dan matanya yang cerah membuat Axel terpikat sejak pandangan pertama. Sejak saat itu, dia ingin selalu dekat, ingin berbagi cerita dan mimpi-mimpinya hanya kepada Vanilla.
Namun, kenangan itu sekarang terasa seperti siksaan. Setiap momen indah yang terlintas justru membuat Axel merasa bersalah dan takut akan kehilangan Vanilla. Ia merasa gagal melindungi gadis yang dicintainya, dan pikiran itu menghantuinya tanpa henti. Dia kacau tanpa Vanilla.
"Sayang, kamu inget waktu aku ngikutin kamu ke pantai? Kamu marah, tapi aku suka lihat kamu marah," bisik Axel, suaranya bergetar. "Kita udah punya rencana akhir bulan akan kembali kesana? Kita harus pergi ke sana lagi, kamu harus janji."
Axel mengusap lembut tangan Vanilla, berharap ada reaksi. Namun, Vanilla tetap diam, nafasnya terdengar lemah namun stabil. Axel menundukkan kepalanya, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
"I'm sorry, sayang. Aku seharusnya bisa melindungi kamu lebih baik," lanjutnya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku akan lakukan apa aja supaya kamu bangun. Please, aku mohon. Terlalu menyakitkan melihat kamu seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanàtico
Romance[COMPLETED] Pipiku memanas dan gerak tanganku otomatis berhenti sehingga bentuk yang seharusnya hanya sebaris, kini telah menjadi titik gelap berwarna hitam yang tintanya merembes seperti tangisan. Aku tidak sadar karena aku seperti terhipnotis. Tub...