Vanilla kembali bertemu Axel di depan pintu apartemen setelah yakin penampilan mereka sudah rapi. Axel tampak lega melihat Vanilla muncul dengan ekspresi yang lebih santai, seolah tidak ada hal besar terjadi. Gadis itu memberikan senyum tipis kepadanya, menuju ke tower apartemen milik Vanilla di sebelah. Mereka berjalan berdampingan, sepakat untuk tidak membahas apapun selama perjalanan.
Untung saja di dalam lift hanya tersisa mereka berdua, sehingga ketika pintu telah tertutup rapat, Axel bisa dengan leluasa membawa Vanilla ke dalam pelukannya.
"Emang harus gini banget?" Tanya Axel tidak habis pikir. Dan anggukan sekaligus gerak kecil Vanilla yang menjauh menjadi jawaban.
"Ada cctv dimana-mana, Xel. Tahan diri."
Axel mendengus sambil mencolek lengan Vanilla.
"Emang kamu bisa?" Axel kembali menggoda Vanilla, namun suara denting lift terbuka menghentikan tawa mereka berdua. Ada orang lain yang masuk, sehingga candaan mereka pun harus ikut terhenti.
Mereka akhirnya telah sampai di depan unit kamar milik Vanilla setelah beberapa kali terhenti akibat lift yang harus bergantian. Dengan perlahan Vanilla membuka pintu, dan langsung menemukan pemandangan Reno dan Della yang tertidur pulas berpelukan di sofa.
Reno dan Della tampak begitu nyaman dan lelah setelah seharian berbelanja. Della bahkan masih memegang tas belanja di sebelahnya, sementara Reno memeluk erat tubuh kecilnya.
Vanilla otomatis melirik Axel, memberikan isyarat agar mereka berjalan pelan menuju kamar. Axel menjawabnya dengan anggukan, tumben, lalu dengan hati-hati mengikuti langkah Vanilla yang perlahan menuju pintu kamar.
Setelah berhasil mengendap-endap, Vanilla menutup pintu kamar dengan pelan dan menghela nafas panjang. Dia kemudian berbalik dan melihat Axel yang telah duduk di tepi tempat tidur ketika dia berjalan ke arah cermin besar di sudut ruangan.
Vanilla merapikan helaian rambut yang terlepas dari cepolan, menatap refleksi dirinya seolah mencari ketenangan. Ada beberapa tanda yang tertinggal membuat Vanilla beberapa kali menggosok kulitnya, berharap warna merah kebiruan itu hilang.
"Kamu sengaja kan?"
Axel, yang menyadari kecemasan di wajah Vanilla pun berdiri dan mendekatinya. Tangannya menyentuh bahu Vanilla dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa ketenangan.
"Itu ketutup baju, sayang. Kamu nggak nyaman?" tanyanya dengan suara rendah.
Vanilla mengangguk, matanya bertemu pandang dengan Axel melalui cermin. "Aku nggak tahu kenapa aku merasa tegang," jawabnya jujur. "Mungkin karena banyak yang harus disiapkan dan... ya, situasi tadi."
Axel mengangguk paham, lalu berbalik untuk mengambil beberapa tas belanjaan yang telah mereka bawa masuk ke dalam kamar. Dia tidak ingin memperpanjang masalah karena terus bertanya.
"Yuk, aku bantu kamu lanjut packing. Biar nanti nggak buru-buru pas pagi," ujarnya dengan senyum lembut.
Sehingga pada akhirnya Vanilla luluh dan mengikuti kemauannya.
Vanilla mengambil beberapa baju yang baru dibelinya dari tas dan menyortirnya satu per satu. Dia sendiri mulai memilah-milah barang yang akan dibawa, kemudian menyerahkan kepada Axel agar ditata rapi disana.
Suara resleting koper, gemerisik kain, dan sesekali obrolan ringan mengisi keheningan kamar. Kini Vanilla mulai menyadari jika ketegangan dalam dirinya perlahan menghilang dan digantikan oleh rasa nyaman.
Mungkin harus Axel yang memberikannya kata-kata penenang.
"Jadi, kamu mau bawa berapa banyak baju?" tanya Axel sambil melipat sebuah sweater tebal berwarna biru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanàtico
Romance[COMPLETED] Pipiku memanas dan gerak tanganku otomatis berhenti sehingga bentuk yang seharusnya hanya sebaris, kini telah menjadi titik gelap berwarna hitam yang tintanya merembes seperti tangisan. Aku tidak sadar karena aku seperti terhipnotis. Tub...