Awalnya Mirna memang sempat ragu untuk menerima tawaran dari Bu Ningsih. Tapi setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya untuk menerima. Saat ini ia tidak peduli harus melakukan pekerjaan apapun. Asalkan ia segera mendapatkan uang untuk membayar tagihan paylater-nya. Lagipula, bagi Mirna menjadi asisten rumah tangga bukan merupakan pekerjaan yang hina.
Dengan bekerja dengan Bu Ningsih, Mirna tidak perlu lagi meminta uang pada orang tuanya. Sejujurnya, ia malu pada setiap kali meminta uang pada orang tuanya. Di usianya yang sekarang, sudah seharunya ia bisa menghasilkan uang dari hasil kerja kerasnya sendiri. Bahkan sebelum berangkat ke Surabaya, ia sudah meyakinkan Ibunya bahwa dirinya akan segera mendapat pekerjaan. Tidak mungkin ia pulang begitu saja tanpa membuktikan apapun.
Tidak masalah baginya harus bekerja menjadi asisten rumah tangga untuk anak Bu Ningsih. Selagi menjadi asisten rumah tangga, ia juga bisa mencari lowongan pekerjaan. Ia juga bisa ikut pelatihan online di waktu senggangnya.
Setelah mengobrol panjang lebar, Mirna baru tahu kalau Bu Ningsih dengan anaknya tidak tinggal satu rumah. Meski begitu, jarak dari rumah anaknya ke rumah Bu Ningsih tidak terlalu jauh. Hanya berbeda blok saja. Mirna langsung diajak ke calon tempatnya bekerja oleh Bu Ningsih. Diantar oleh Eko, laki-laki yang tadi membukakan gerbang untuknya.
"Anak saya kerja dari pagi sampe malem. Dulu ada satu asisten rumah tangga. Tapi setiap sore dia selalu pulang," ucap Bu Ningsih menjelaskan sembari berjalan memasuki rumah anaknya.
Mirna manggut-manggut mendengar ucapan Bu Ningsih. Selagi mendengarkan, Mirna berjalan di samping Bu Ningsih.
"Tapi satu minggu yang lalu asisten rumah tangganya berhenti. Jadi saya diminta anak saya untuk cari penggantinya."
"Sebenarnya, saya nggak ada tempat tinggal selama di Surabaya, Bu," ucap Mirna memberitahu. Kalau Mirna harus bolak-balik seperti mantan asisten rumah tangga yang lama, ia tidak mungkin bisa. Kalaupun dia tinggal dengan Jini, itu lebih mustahil lagi. Jarak rumah ini ke kontrakan Jini lumayan jauh.
Bu Ningsih tersenyum. Kemudian ia menggiring Mirna untuk duduk di sofa terdekat. "Kamu tenang aja. Kamu bisa tinggal di sini kok."
Mirna mendesah lega. "Pekerjaan saya apa aja, Bu?"
"Sebenarnya pekerjaan kamu nggak terlalu susah. Paling bersih-bersih rumah sama masak," jawab Bu Ningsih. "Kamu nggak perlu nyuci dan nyetrika baju. Anak saya biasanya masukin semua bajunya ke laundry."
Rumah anak Bu Ningsih cukup besar. Di pikiran Mirna sudah terbayang betapa capeknya saat ia harus membersihkan rumah sebesar ini.
"Mirna," panggil Bu Ningsih.
"Iya, Bu?" Mirna langsung kembali fokus menatap Bu Ningsih.
"Kok malah ngelamun?"
"Maaf, Bu." Mirna hendak menanyakan sesuatu. Tapi ia bingung bagaimana cara menanyakannya. "Hmm ... maaf sebelumnya, Bu. Kalo boleh tau, saya digaji berapa ya nanti?"
Bu Ningsih tersenyum mengerti. "Kamu mintanya berapa?"
"Eh?"
Akhirnya Bu Ningsih menyebutkan sebuah nominal angka. "Cukup nggak kalo segitu?"
Mirna mengangguk kaku. Ia tidak menyangka gaji asisten rumah tangga ternyata cukup besar. Gaji segitu pasti sebanding dengan beban kerjanya yang cukup berat.
"Oh ya, apa yang kamu masak, itu akan kamu makan juga. Anak saya nggak suka lihat orang yang kerja sama dia kelaparan. Itu artinya urusan tempat tinggal dan makanmu, sudah menjadi tanggung jawab anak saya," ucap Bu Ningsih menatap Mirna. "Kalo kamu kerjanya bagus, biar saya bilang ke anak saya untuk naikin gaji kamu," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Paylater (Completed)
ChickLitMirna Zaira Ranjana, atau akrab dipanggil dengan nama Mirna. Memilih mengadu nasib ditengah kerasnya kehidupan kota Surabaya demi bisa melunasi segala tagihannya yang membengkak di aplikasi belanja online. Alih-alih mendapat pekerjaan di gedung penc...