Bab 17.

107 7 0
                                    

Akhirnya Samuel sampai juga di Singapore. Dia merasa bahagia banget. Bahkan kebahagiaan itu bisa mencakup satu patung singa. David mengangkat koper Samuel dari bagasi mobil. Samuel malah main masuk ke rumah idaman keluarga barunya.

Siska menyambut putra semata wayangnya, tetapi malah diabaikan oleh Samuel. Melainkan dia memeluk ayahnya yang sedang duduk sambil baca koran. Ayahnya pun dikejutkan oleh putra bungsu tersebut.

"Sudah sampai, bagaimana perjalanan kamu? Melelahkan?" Michael bertanya.

"Biasa saja, Pa. Seperti perjalanan ke luar kota, tidak ada yang spesial," jawab Samuel. Mengambil sepotong kue kering di meja tersebut.

Siska melihat tingkah laku putranya, rasanya ingin mencekiknya. "Jadi kamu sudah putusan untuk menetapkan di sini?" sambung Siska.

"Mungkin ya, mungkin tidak," ucap Samuel.

"Okelah, Pa. Aku ke kamar dulu, ada hal lebih penting untuk diriku," ujarnya kemudian beranjak ke kamar tersebut.

Siska melihat tingkah laku putranya semakin hari semakin menjadi. "Kapan anak itu bisa dewasa. Sikapnya semakin hari seperti anak ABG saja," celetuknya.

Michael melepaskan kacamata hampir punah, kemudian memijit pelipis. "Biarkan saja. Nanti juga dia akan berubah setelah dia siap menjadi pewaris tunggal keluarga kita," kata Michael.

Malam ini, Samuel menelepon Hardi, pokoknya dia telepon penuh rasa suka cita menyelimuti gembira. Walau dia sangat senang kalau pujaan hatinya positif. Walau dia memang berengsek banget. Tega buat Yulia positif terus dia main pergi begitu saja.

[ "Sori, Bro. Aku baru saja sampai rumah, habis itu langsung mandi, ada apa?" ] ucap Hardi, setelah dia mengisi baterai yang mati total itu.

Satu hari satu malam, ponsel Hardi memang tinggal beberapa persen. Itu juga dia numpang cas sementara di rumah sakit. Karena tidak mungkin juga dia tinggalin Yulia seorang diri di sana.

"Lama kali, ngapain saja kau?" balas Samuel.

Dari tadi dia telepon tidak ada sambungan apa pun. [ "Baterai ku lowbet, mati total. Ini juga baru ku cas, beberapa menit. Belum juga lima persen, ada apa telepon?" ]

"Jadi aku gak boleh telepon kau gitu?"

[ "Boleh aja, buat kau apa yang gak boleh?" ] .

"Yang gak boleh itu, cintaku. Bagaimana keadaannya? Apa dia rewel?"

Hardi memakai bajunya, lalu dia naik ke kasur. "Kau sudah baca pesanku? Rewel apanya. Dia stres,"

[ "Hah?" ]

"Iya, dia stres beberapa minggu dia gak absen ke kampus. Terus kemarin dia pingsan karena ke hujanan. Waktu aku bawa dia ke rumah sakit. Aku shock dikatakan dokter. Dia positif hamil. Pantas saja aku lihat kemarin dia lebih banyak pendiam. Apalagi dia juga gak mau namamu disebut-sebut," kata Hardi. Menyampaikan apa yang dia lihat.

Samuel yang di sana terdiam. Dia tau, itu juga kesalahan. Dia terpaksa. Terpaksa memilih menjauh. Meskipun dia tidak tega. Namun dia juga bingung harus memilih yang mana. Untuk memilih keduanya, pastinya mereka tidak setuju. Karena Yulia adalah keluarga biasa. Sedangkan dia, keluarga terhormat, terpandang. Tentu dong dia belum siap menjadi lelaki sejati.

[ "Terus, kau sudah sampai? Kau yakin dia akan baik-baik saja? Kenapa kau gak jujur saja sama dia?" ]

Samuel melamun. Dia menghembus. "Belum saatnya, Ard. Mungkin setelah dia melahirkan. Kemudian melihat anak itu tumbuh sehat. Aku akan menjelaskan padanya, aku hanya minta kau jaga dia. Beritahu aku semua tentang keadaannya, kabarnya. Kau tenang. Gajimu selalu utuh, asal kau gak coba ambil cintaku."

[ "Aku gak janji," ]

"Jangan coba-coba. Ingat janji kita,"

[ "Itu hanya janji pertaruhan kita, Bro. Sekarang mungkin kau masih mencintainya. Tetapi dia mungkin membenci dirimu. Aku bukan budak yang hanya diperintah tuan yang bertindak semena-mena," ]

Hardi mematikan ponselnya kemudian dia menelepon Yulia. Samuel belum selesai ngobrol dia mengkhawatirkan menghubungi kembali. Sayangnya panggilan itu sedang sibuk. "Berengsek! Awas kau Hardi!" marak Samuel sampai dia membanting ponselnya.

Di kontrakan, Yulia sudah terlelap dari dunia mimpi. Dia merasa mengantuk. Obat yang diingatkan oleh Hardi. Tidak dia minum. Dia malah memilih untuk tidur. Rasa sakit kepalanya mulai menyerang. Dan terdapat sisa air mata membasahi kedua pipinya.

Yulia sempat menangis, menangis akan kehancurannya. Walau Hardi memberitahu kepadanya bahwa dia hamil. Dia mencoba mengetes dengan hasil testpack yang pernah dia beli saat dibutuhkan. Dan benar dong. Dia positif. Entah bagaimana kelanjutan dia hadapi. Dia merasa gagal menjadi seorang wanita sukses.

Ponsel miliknya bergetar beberapa kali. Tetapi tidak ada tanggapan dari Yulia. Yulia seakan seperti orang mati. Dengan ringtone bernyanyi juga tidak merasa dengar. Hardi beberapa kali menelepon namun panggilan tidak menjawab. Dia khawatir akan keadaan Yulia. Mungkin esok pagi dia akan ke kontrakan untuk memastikan keadaanya.

***

Esok paginya, Yulia merasa terganggu akan suara ketukan pintu di depan. Dia mencoba untuk bangun dari tidurnya yang sangat nyenyak sekali. Sebelum dia beranjak dari tempat tidur. Dia duduk sejenak untuk mengumpulkan semua para dayang-dayang yang masih berkeliaran.

Pintu itu kembali bersuara. Mau tak mau dengan rasa malas menghantuinya. Dia pun menyeret kedua kaki ke pintu pertama. Masih pagi pukul delapan. Saat dia membuka pintu tersebut. Tangan itu masih lancar mengayun dan membuat Yulia menghindar.

"Ada apa? Pagi-pagi ke sini? Mengganggu dunia mimpiku," Yulia menguap sangat lebar.

Hardi memang sengaja pagi karena dia khawatir. Apalagi dia juga tidak bisa tidur. Terlalu mencemaskan keadaan wanita di depan dengan wajah penuh minyak dengan rambut yang sedikit berantakan. Bajunya masih sama dengan kemarin.

"Aku hanya mampir doang. Kamu lapar? Mumpung aku beli bubur ayam di pajak, makan bareng, ya!" Hardi main masuk saja, bukan menyapa dulu. Yulia malah membiarkan seakan para dayangnya belum terkumpul.

Hardi meletakkan bungkusan sarapan ke meja, kemudian mengambil piring seakan dia hafal dimana piring disimpan. Yulia menarik kursi dan duduk. Melihat Hardi menuangkan bubur ayam dari plastik tersebut.

Terasa wangi di hidung Yulia. Akan tetapi ada aroma tidak dia sukai. Aroma bawang. Seakan dia pusing menghirupnya. "Kamu beli sarapan apa sih? Kok bau gitu?" tegur Yulia. Dia menutup hidungnya. Bahkan dia berdiri dan berlari kecil masuk ke kamar mandi.

Hardi malah bengong. "Bubur ayam, memang bau di mana? Wangi gini kok?" hirupnya. Yulia keluar, dia merasa lega. Hardi menunggu, dia duluan menikmati sarapannya. Yulia kembali ke meja dan di sana sudah terhidang bubur ayam yang sangat lezat.

Dia mengambil sendok, terus mengaduk-aduk bubur itu. Hardi yang mengamati pun terheran-heran. "Ada apa? Kenapa di aduk seperti itu? Gak ada racun kok, mana tega aku bunuh kandungan kamu," ucapnya.

Yulia malah membalas tatapan jengkel. "Siapa yang bilang kamu racuni aku? Aku cuma cek, ada bawang gak? Aku gak suka bau bawang, bikin mual?!" katanya.

Hardi lega, dia kira Yulia tidak mau makan karena takut ada racun. "Buburnya gak ada bawang. Yang tadi kamu hirup aroma itu. Itu punya aku. Aku tau kamu gak suka bau bawang. Makanya aku pisahin," terangnya. 

𝐄𝐱-𝐁𝐚𝐬𝐭𝐚𝐫𝐝 (Drama Romantis) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang