Aiden melipat kedua tangan di depan dada, memerhatikan Tiffany yang baru saja kembali setelah semalaman penuh menghilang tanpa bisa dihubungi. Meninggalkan ia sendirian mengurus satu anaknya yang sakit dan satu anaknya yang terus merasa semua yang terjadi adalah salahnya. "Jongin ke rumah sakit semalam, seharusnya dia dirawat jika saja tidak merengek ingin pulang. Sehun terus menyalahkan dirinya sendiri karena kejadian kemarin. Kau ibunya, bagaimana bisa kau meninggalkan kedua anakmu dengan kondisi seperti itu?"
"Bisakah kita bicarakan ini lain kali?" pinta Tiffany, kepalanya benar-benar penuh dengan segala hal. "Aku pergi karena ada masalah di butik, Jessica meminta bantuanku kemarin."
"Sepenting apa butik sialanmu itu dibanding kedua anakmu?" kali ini Aiden tak bisa lagi menahan emosi. "Kau lebih memilih pergi menelantarkan Sehun dan Jongin setelah menyakiti mereka?"
"Aku tidak mau mendengar apapun, Aiden, aku benar-benar lelah." Tiffany memilih untuk melangkah pergi, mencoba masuk ke dalam kamar untuk menenangkan pikiran. Namun Aiden justru menahan lengannya dan memintanya untuk tetap tinggal.
"Aku menyesal membiarkanmu bekerja, Tiff. Seharusnya aku sadar jika selamanya kau tidak akan pernah bisa mengesampingkan obsesimu dengan pekerjaan. Kau tidak pernah menjadikan keluargamu sebagai prioritas utama."
"Apa maksudmu?" Tiffany menatap tajam Aiden, sangat tersinggung dengan ucapan suaminya. "Sejak kapan aku tidak pernah mengutamakan keluarga? Aku bahkan tidak sepenuhnya bekerja di butik semenjak Suho pergi hanya untuk mengurus Jongin dan Sehun."
"Kau meninggalkan anakmu setelah melukai mereka!" Aiden meninggikan suaranya, kesal dengan Tiffany yang masih merasa tak bersalah atas apa yang telah terjadi semalam. "Kau bahkan melukai Jongin secara fisik!"
"Itu karena aku kesal! Jongin berani membohongiku, dia membiarkan Sehun mengerjakan semua tugasnya. Dia membuatku percaya bahwa semua usahaku berhasil sedangkan dia tetap tidak ada kemajuan." Tiffany membalas Aiden dengan suara yang tak kalah tinggi. Persetan dengan tubuhnya yang lelah dan butuh istirahat, emosinya sudah berada dipuncak. "Apa kau tahu betapa malunya aku ketika gurunya mengungkap kebenaran itu? Aku merasa seperti orang bodoh yang bahkan tertipu oleh anakku sendiri!"
"Apa itu membuatmu berhak melukainya? Jongin melakukan itu pasti karena lelah dipaksa olehmu."
"Kau pikir hanya dia yang lelah? Aku juga!" Tiffany kembali tersinggung. "Dibanding kau yang normal sejak lahir, aku jauh lebih memahami Jongin. Aku mengalami apa yang Jongin alami, bahkan lebih buruk. Jika aku bisa, maka anakku pun harus bisa!"
"Kau tidak, Tiff." Aiden menggelengkan kepalanya. "Kau sama sekali tidak memahami Jongin, kau hanya membalaskan dendammu melalui Jongin. Kau membiarkan Jongin merasakan hal yang sama sepertimu, kau tidak memahaminya sedikitpun."
"Papa ...."
.
.
.
"Kau bahkan melukai Jongin secara fisik!"
Sehun terbangun saat mendengar suara Aiden yang begitu keras sehingga terdengar ke dalam kamar. Matanya melihat ke arah jam di atas pintu, lalu berpindah mencari keberadaan Jongin di kasur sebelahnya. Semalam Jongin merengek pulang meskipun dokter bilang sebaiknya ia dirawat karena panasnya yang semakin tinggi. Dokter takut jika Jongin mengalami kejang, tapi kembarannya itu justru menolak hingga menangis kencang dan membuat Aiden terpaksa membawanya pulang setelah mendapat suntik untuk demamnya.
Sehun turun dari kasurnya dan mendekati kasur Jongin, tangannya terulur untuk meraba kening Jongin. Bibirnya tertekuk saat merasakan perbedaan suhu yang cukup jauh dengan tubuhnya sendiri. Satu yang Sehun tahu, Jongin masih belum sehat meski dokter sudah menyuntiknya semalam. "Jongin, cepat sembuh agar kita bisa bermain. Tidak seru jika kamu sakit selama libur sekolah."

KAMU SEDANG MEMBACA
Twins!
FanfictionSeason 1 : daily life todlers Jongin and Sehun Season 2 : daily life highschooler Jongin and Sehun