06. Don't give up

153 24 8
                                    

Pyaar!

Gelas di tangan Nathan terjatuh ke lantai. Sang empu mengerjapkan matanya bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba perasaannya menjadi gundah tanpa sebab.

"Ayah?" Panggil Janeetha saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Dapat Janeetha lihat, sang ayah tengah membersihkan pecahan gelas yang jatuh. "Ayah kenapa? Ayah sakit?" Ia panik. Takut ayahnya kenapa-kenapa.

Nathan tersenyum kecil kepada sang anak kemudian menggeleng. "Nggak sengaja jatuh, sayang. Ayah nggak papa kok." Ujarnya. "Netha disitu dulu, jangan kesini. Nanti kaki Netha kena pecahan kacanya."

Gadis kecil itu menurut saja sembari menunggu ayahnya hingga selesai membersihkan.

"Tumben udah bangun sayang? Biasanya 'kan nunggu ayah bangunin dulu baru bisa bangun." Tanya Nathan tanpa mengalihkan pandangannya karena masih sibuk memunguti pecahan-pecahan gelas.

Janeetha tersenyum canggung. "Netha ndak sabar ke rumah Janu, ayah. Makanya bangun sendiri."

"Kamu mandi dulu kalau gitu. Nanti ayah susul."

"OK." Janeetha dengan segera beranjak menuju kamar mandi kamarnya.

Melihat sang anak telah pergi, ia pun menghela nafas pelan. "Kenapa aku jadi nggak tenang gini?" Gumamnya.

Amara masih terus menangis sedari tadi.

Bagaimana tidak? Karina bahkan baru sehari pulang dari rumah sakit kemarin. Sekarang, wanita cantik itu harus kembali dilarikan ke rumah sakit karena percobaan bunuh dirinya. Untung saja, ia masuk ke dalam kamar sahabatnya di waktu yang tepat, sehingga Karina dengan cepat dapat mendapat pertolongan.

"Kenapa kamu sampai mikir sejauh ini sih, Karin.. Hiks!" Ujar Amara dengan lirih. Ia merasa sangat bersalah karena tidak dapat mencegah Karina melakukan hal buruk tersebut.

"C-cepet bangun." Ia menggenggam tangan Karina. Amara melihat perban di pergelangan tangan sahabatnya itu. Ia menghela nafas. "Aku janji bakalan nemenin kamu kemanapun kamu mau nanti dan ga bakalan pernah biarin kamu sendirian lagi.

Bahkan, buat cari mantan suami kamu pun aku mau. Please jangan nyerah! Hiks!"

Jari-jemari tangan Karina bergerak pelan.

Amara sontak membelalakkan matanya terkejut.

"Karin! Kamu bangun?" Isakannya kembali terdengar. Tangisan bahagia karena sahabatnya kembali sadar.

Perlahan, kelopak mata Karina terbuka. Silau menghampiri. Ia merasakan kepalanya pusing dan tangannya terasa sangat sakit.

Dilihatnya perban yang membalut pergelangan tangannya. Karina menghela nafas pelan kemudian menatap Amara.

"Kenapa kamu nggak biarin aku mati aja biar aku bisa ketemu sama anak aku yang udah mati."

Amara menggeleng brutal dan langsung memeluk Karina yang masih terbaring di ranjangnya. "NO. Kamu nggak boleh mati dulu, Karin." Ia menjeda kemudian menjauhkan badannya dan menatap lekat kearah netra Karina.

"Coba kamu lihat ke belakang, udah sejauh mana kamu berjalan. Masa kamu mau nyerah gitu aja sih?"

"Nggak ada gunanya aku hidup, Ra. Buat apa? Aku udah gagal jadi istri dan ibu."

"Nggak, Karin." Amara berujar selembut mungkin. "Kamu adalah orang terhebat. Kamu bahkan bisa bertahan sejauh ini loh."

Karina terdiam dan menatap sahabatnya lamat-lamat. Amara kembali memeluk Karina sambil berbisik, "kamu berharga. Jangan menyerah."

HerWhere stories live. Discover now