🍬 - [ 6. perihal mangkuk sayur. ]

376 79 65
                                    

Menjelang malam, Putra dan El sudah kembali ke rumah. Mereka makan malam bersama, dengan Ibu juga.

El dengan senangnya memamerkan baju milik Raden yang sekarang tengah ia kenakan. Baju setelan pendek berwarna biru, dengan gambar empat bis kecil ramah di bagian depan.

"Ibu, lihat! Yang biru ini namanya Tayo!"

"Wah, El tau darimana?"

"Dulu El suka nonton Tayo loh, Bu. Di iPad."

"Iya? Gimana ceritanya Tayo itu?"

Putra yang tengah menyiapkan makan malam, tersenyum tipis saat mendengar begitu banyaknya celotehan El pada Ibu. Sehingga satu sama lain tidak merasa kesepian.

Dengan semangkuk sayur yang baru matang, Putra muncul dari dapur dan menaruh mangkuk itu di tengah ruangan. Kembali ke dapur untuk mengambil piring, nasi, beserta lauk pauk yang sudah disiapkan.

Awalnya semua baik-baik saja, Putra masih sibuk menyiapkan makan malam, ditemani suara semangat El yang bercerita pada Ibu. Hingga kaki El bergerak seiring dengan ceritanya.

"Aw!"

Putra langsung menoleh kala pekikan El terdengar. Kaki anak itu tidak sengaja menendang mangkuk sayur hingga sayur yang masih panas itu sedikit mengenai kakinya dan sedikit tumpah disisi lain.

Ibu dengan sigap langsung menarik El untuk sedikit lebih mundur, sedangkan Putra berdecak dengan alis yang seolah akan menyatu. El menatap Putra yang terlihat marah, El menutupi kakinya yang perih tapi Ibu tidak membiarkan itu terjadi. El di angkat, didudukan di pangkuan dengan kaki yang di luruskan.

"Putra, tolong ambilkan lap dan salep bakar di kamar ya, Nak."

Untuk pertama kalinya, El melihat raut marah Putra yang bahkan masih bertahan hingga pemuda itu bangkit menuruti omongan Ibu. Kembali dengan apa yang Ibu minta pada tangan nya.

Kaki El dilap dan di oleskan salep yang terasa sejuk di permukaan kulit. El menatapi kakinya yang sedikit membengkak dan memerah. Lalu pandangannya tertuju pada Putra yang ternyata tengah menatap tajam kakinya.

Selesai Ibu beri salep, Putra langsung kembali menyiapkan makanannya. Toples di taruh di dekat El dan Putra taruh sepiring nasi milik El lengkap dengan sendoknya. Diambilkan pula sayur beserta kuahnya, dan lauk yang tersedia.

"Sudah sini, makan."

El langsung turun dari pangkuan Ibu dan duduk rapi didepan toplesnya. Makan dengan tenang karena enggan membuat Putra terus memasang raut marahnya. Tapi pada nyatanya, Putra mempertahankan raut itu sampai sesi makan malam sudah selesai.

Ibu sudah kembali ke kamar, dan Putra sedang di belakang, kemungkinan mencuci piring yang habis digunakan untuk makan malam tadi. Tak lama, Putra kembali masih dengan wajah marahnya sehingga membuat El menatapnya takut-takut.

"Putra,"

Pemuda yang tengah sibuk menggelar kasurnya itu menoleh.

"Minta maaf. Jangan marah, Putra."

Putra menghela napas dan lanjut merapikan kasurnya. Menatap bantal dan guling di sisi pojok tempat biasa El tidur.

Mau bagaimana pun, Putra hanyalah remaja 18 tahun yang secara tidak langsung dipaksa bisa menjadi orang tersabar semuka bumi. Sedangkan, hormon anak seusianya sedang sangat sulitnya mengatur emosi. Terkadang, Putra saja kewalahan.

"Sini, tidur"

El bangkit dan berjalan menuju tempat yang Putra tepuk sebelumnya lalu duduk dan kemudian berbaring di sana.

Dipeluknya guling milik Putra dengan tatapan yang masih memperhatikan Putra. Putra yang sedang membetulkan posisi kipas angin, kemudian pemuda itu melepas kaosnya dan berbaring di samping El dengan remot tv di tangannya.

Menggonta-ganti channel tv tanpa peduli El yang masih berdiam diri di sampingnya. Tangan si kecil bergerak perlahan saat Putra sudah menemukan film yang di carinya. Jari mungilnya menyentuh lengan atas Putra.

"Apa?"

"Minta maaf, Putra. Jangan marah.."

"Saya enggak marah"

El melepas pelukan pada guling, dan duduk menghadap Putra. "Tapi wajah Putra marah"

Putra menghela napasnya, mematikan tv dan ikut duduk di atas kasur lantai itu. Menatap El yang tengah menatapnya takut-takut.

"Minta maaf.."

"Tau enggak, salahmu apa?"

"Tendang mangkuk sayur. Tapi, El tidak sengaja, Putra. Ketendang, bukan sengaja tendang."

"Iya, saya tau kamu enggak sengaja. Tapi El, walaupun sedikit saya enggak suka lihat makanan terbuang. Kenapa? Karena saya tau gimana susahnya cari uang buat beli makanan. Kamu tau sendirikan gimana capek nya kita keliling untuk dagang telur gulung? Capek kan? Susah kan cari pelanggan?"

"Iya, Putra.."

"Saya juga sebetulnya enggak mau marah sama kamu, El. Tapi saya enggak tau kenapa saya tadi sempat emosi. Sayur itu saya buat untuk Ibu, kalo sampai tumpah semua, mungkin tadi kamu sudah saya marahi. Tapi lihat Ibu yang sama sekali enggak emosi, saya jadi berfikir kalo saya tipikal orang yang cukup mudah terpancing emosi."

"Iya, Putra. El maaf, janji nanti kalau mau makan lagi El akan diam, tidak banyak bergerak supaya tidak banyak yang tumpah lagi."

Putra tersenyum, tangannya terangkat untuk mengusak rambut tebal si kecil. Sedangkan, El sendiri lebih memilih bangkit dan memeluk Putra dengan eratnya.

"Putra, tolong jangan marah lagi. El tidak pernah lihat Putra marah, lalu tiba-tiba Putra marah, El jadi takut."

Putra hanya diam, mengangkat paha anak itu supaya masuk ke dalam pangkuannya, lalu diusapnya punggung sempit si kecil yang masih memeluk Putra dengan erat.

"El takut, soalnya Papa pasti akan pukul El kalau marah, Putra. Papa selalu tarik tangan El, lalu pukul dan cubit El kencang-kencang. Papa kasar, Putra. Jangan jadi seperti Papa."

"Mamanya El enggak tolongin?"

"Mama hanya diam, Putra. Masuk ke kamar dan tidak peduli dengan El kalau El sudah dimarahi Papa. Mama tidak pernah selamatkan El dari Papa. Yang selalu selamatkan El itu Om Vincent. Cuma Om Vin yang berani sama Papa. Mama, Bibi, Pak Edi, tidak ada yang berani sama Papa."

"Papa kalo pukul El karena apa? El nakal?"

El menggeleng pelan, "tidak, Putra. El hanya ingin main di belakang, sama Pak Edi. Cari cacing, main tanah. Atau karena El tidak bisa jawab pertanyaan dari Papa. Papa suka tanya soal hitungan, seperti 24+9 atau 35-17. El harus jawab dengan benar, kalau salah nanti Papa cubit kencang-kencang. Lalu kalau salah terus jadi pukul-pukul Papanya."

Putra diam, lebih memilih mendengarkan keluh kesah si kecil sembari mengusap punggung El. Membiarkan anak itu mengeluarkan apa yang harus ia ceritakan.

El tidak menangis, hanya saja anak itu semakin mengeratkan pelukan karena.. Putra hangat saat tidak pakai baju. El suka peluk Putra lama lama.

"Putra, apa menjadi orang besar menyenangkan? El lelah jadi anak kecil, anak kecil pasti dipukul terus sama Papanya, kalau anak besar tidak kan, Putra? Anak besar lebih di sayang seperti Ibu yang sayang sekali dengan Putra, iya kan?"

[ tbc.. ]

• • • • •

Halooo
kembali lagi bersama aku
Huwwuuwuuu

Siapa kangen El dan Putra?
Cung!

Hahaha, mari tunggu akhir ceritanya. See you next time
💜💜💜

𝗘𝗟'𝗦 𝗔𝗡𝗚𝗘𝗟 | vk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang