🍬 - [ 9. Putranya Ibu. ]

360 74 29
                                    


• • • • •

"Assalamualaikum, Bu.."

Cukup lama mereka menunggu, hingga pintu terbuka. Memunculkan Ibu di baliknya.

"Wa'alaikumussa- Astaghfirullah, Putra. Kamu kenapa?"

Putra hanya mampu menunduk, enggan menatap Ibu yang sudah pasti khawatir.

Ini salahnya. Putra terus menunduk karena takut, ia tidak mendengarkan ucapan Ibu yang menyuruhnya pulang pukul sembilan malam. Dan nyatanya sekarang sudah hampir jam sebelas malam.

Putra yakin, Ibu marah juga ditengah khawatirnya. Putra tidak berani sedikitpun menatap Ibu sekarang. Tangan nya hanya masih terus menggenggam tangan kecil El.

Biarpun sudah besar, Putra masih takut dengan tegasnya Ibu. Ketegasan Ibu dan Alm. Bapak adalah salah satu hal yang paling Putra takuti. Mereka tidak akan marah besar hingga membentak atau meneriakinya, tidak akan pula memukul atau melakukan tindakan kekerasan lain.

Tegasnya mereka itu sama. Hanya diam, menatap tajam, menanyakan hal-hal yang sekiranya harus diceritakan dengan intonasi suara yang bisa dibilang cukup rendah.

"Putra."

"Ya, Bu."

"Lihat Ibu."

Putra membasahi bibir bawahnya lalu menggeleng pelan.

"Putra."

"Maaf, Bu."

"Anak Bapak enggak ada yang pengecut."

Satu kalimat, yang berhasil membuat Putra mengangkat wajahnya. Menatap Ibu dengan bola mata yang bergetar.

"Berantem sama siapa?"

"Enggak berantem"

"Terus?"

"Dihadang preman. Dipukul karena enggak mau kasih dia uang."

Terdengar Ibu menghela napas berat, menatap Putra dan membuka pintu lebih lebar.

"Masuk, bersih-bersih. Lukanya juga, biar Ibu obati."

• • • • •

Tepat tengah malam, El sudah masuk ke alam mimpinya. Setelah memastikan El terlelap di sampingnya, Putra memutar tubuh hingga tubuhnya bergelinding dilantai.

Itu adalah cara terbaik agar tidak membangunkan orang lain. Dengan catatan menggunakan kasur tanpa ranjang.

Pemuda itu bangkit dan mengetuk pintu kamar Ibu sebelum masuk dengan sopan.

Dilihatnya Ibu sudah menyiapkan segala macam obat-obatan yang memungkinkan untuk luka sobek di ujung bibirnya.

"Duduk di sini". Tegasnya Ibu masih ada. Dan hal itu membuat Putra hanya mampu menurut. Langkah kakinya di bawa mendekat pada Ibu, lalu ia duduk di tepi kasur. Tepat di depan Ibu.

Matanya hanya mampu menatap kapas yang tengah di tuangi cairan sebelum akhirnya kapas itu di tempelkan pada lukanya.

"Aduh, aduh, Bu. Sakit, Bu. Aduh!"

Kepalanya dijauhkan, menghindari kapas yang ada di tangan Ibu. Mulutnya terus meringis sakit. Hendak kembali menghindar dengan bangkit dari duduknya, tapi pergerakan Ibu yang mencekal tangannya lebih cepat.

"Duduk"

"Sakit Bu.. udah.."

"Duduk, Putra."

Putra total cemberut. Memang Ibu dan Alm. Bapak tidak ada bedanya. Dulu pernah juga Putra mengalami hal yang sama. Usianya masih 10 tahun saat itu. Luka pada bagian lutut, sikut, dan pelipisnya sukses membuatnya menjerit, bahkan menangis kencang saat tengah di obati Bapak.

𝗘𝗟'𝗦 𝗔𝗡𝗚𝗘𝗟 | vk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang