Kamu adalah harapan kecil yang ku paksa untuk bertahan.
* * * * * *
Sasa. Keluar dari ruangan berwarna putih itu, tangannya mengepal, hingga urat-urat di pergelangan tangannya terlihat.
Ia menatap ke-empat gadis di depannya yang memancarkan rasa penasaran yang sangat luar biasa, punggung kecil Sasa bergetar hebat. Dirinya takut para sahabatnya akan kecewa dengan hasilnya.
"Gue gak cerita apapun ke dia" sorot mata mereka berubah seketika, rasa penasaran itu terganti dengan rasa sedikit kekecewaan.
"Gue gak bisa cerita ke dia" Sasa bisa merasakan mereka sangat kecewa pada dirinya. Setelah mengatakan itu, gadis berpakaian gamis hitam itu pergi meninggalkan ke-empat sahabatnya yang belum sempat berbicara sedikitpun.
"Kita kasih waktu dulu untuk dia" Muti memandang punggung kecil Sasa yang perlahan menghilang.
"Tapi, gorila" Lisa Mengelak, ia memandang heran pada Muti yang menatap balik Lisa.
"Enggak pa-pa baja, kita kasih waktu untuk Sasa sendiri dulu" Muti menepuk pelan pundak Lisa.
"Bener kata gorila baja, lo dengerin aja. Gimana kalo kita Shoping dulu? Mumpung kita ijin gak sekolah, udah lama juga kita kagak ke Mall, kan?" Jauzi menawarkan hal yang mustahil bagi perempuan menolak ajakannya.
"Setuju, mari para monyed-monyed akoh, kita healing dulu" Lisa menggeret mereka semua. Begitulah gadis yang ada di depan mereka, apapun yang terjadi, Shoping dan menghamburkan uang akan tetap menjadi nomor satu, menurut mereka.
Dan sementara Sasa, ia berjalan di sepanjang trotoan jalanan. Ia melihat banyak sekali manusia-manusia yang berlalu lalang, perasaannya gaduh melihat banyaknya manusia di sampingnya, dirinya memperhatikan mereka dengan tatapan resah, tangannya sudah berpegangan erat di tas selempangannya.
Sendari tadi, Sasa menghindari sentuhan fisik kepada se-seorang yang berlalu lalang. Hingga pada akhirnya perasaannya merasa teriris, karena melihat seorang anak kecil yang sedang mengamen di lampu merah dengan gitar kecilnya.
Tangannya yang lentik seharusnya tidak memetik senar gitar yang akan mungkin menggores jari-jarinya. Baju yang terbilang tidak pantas lagi untuk di pakai, tapi masih anak kecil laki-laki itu gunakan.
Sasa menghampiri anak kecil itu yang sudah menepi dan duduk di trotoan jalanan. Terlihat sedikit ketakutan dari wajah anak itu.
"Ka––kaka jangan malak aku" Sasa terhenti mendengar suara bergetar anak laki-laki itu.
"Ini buat makan adek–adek aku kak!" Sasa meringis mendengar kata-kata itu.
"Emang tampang kakak kek mau malak kamu?" Sasa duduk di samping anak itu.
"Iy–iya sedikit"
"Anjing" umpatan itu menggema di sekitar mulut Sasa, dia tidak bisa mengucapkan olokan kasar kepada anak di bawah umur, maupun dirinya juga bisa di katakan begitu.
"Kenali, nama aku Sasa. Kalo kamu namanya siapa?" tanya dirinya, ia mengulurkan tangannya dan anak kecil itu mengambilnya dengan perlahan."Kaka gak mau malak aku, kan?" tanyanya sekali lagi, untuk memastikan.
"Ya enggak dong ganteng. Kakak ini baek loh, malah baek banget, sampe di juluki malaikat pencabut nyawa. Keren kan?" anak kecil itu menarik tangannya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Surat Terakhir
Short StoryKisah ini tidak sepenuhnya tentang cinta, hanya menceritakan 6 gadis yang bersahabat sejak masih menduduki bangku sekolah menengah pertama, hingga ke jenjang sekolah menengah atas. Paitnya hidup, kebahagiaan, kesengsaraan. Semua mereka lewati bersa...