Sebuah perjumpaan akan terasa mustahil tetap abadi.
* * * * * *
Buku tebal bersampul paus yang cukup besar itu, terlihat lusuh dengan beberapa lembaranya yang sudah sobek entah kemana.
Tangan lentiknya menyentuh permukaan buku tersebut, sudah terlihat rusak. Namun, dirinya tetap menggunakannya.
Beberapa menit yang lalu ia sudah masuk kedalam kamarnya sendiri. Setelah mendengarkan panjang lebar cerita Jauzi yang cukup menguras esmosinya.
Muti, membuka lembaran kosong buku tersebut. Pulpen yang sendari tadi ia sudah pengang Muti arahkan perlahan untuk mengukir tulisannya.
Tintah hitam yang pekat itu perlahan menulis huruf-huruf yang menjadi sebuah gambar asal.
Ia tersenyum, melihat hasil karyanya. Itu hanya sebuah coretan dari huruf yang dirinya sukain.
Pulpen yang Muti pegang, ia lemparkan entah kemana, sorot matanya langsung tertuju pada jendela yang sengaja gadis itu buka.
Bibirnya tersenyum. Tapi, tidak dengan iris matanya, tatapannya terlihat begitu kosong sekali.
Angin malam bertiup untuk menerpa wajah gadis itu, terlihat ke-dua kelopak matanya terpejam menikmati angin tersebut.
Muti menghirup dalam-dalam hawa malam hari ini. Sama seperti malam-malam yang lain, tidak akan berubah.
Air matanya menetes di saat dirinya masih terpejam. Perlahan-lahan tetesan itu semakin deras, namun tetap di abaikan olehnya.
Jika kalian mengira senyumannya sudah pudar, itu salah. Senyumannya malah semakin lebar persis seperti rembulan yang indah.
"Jika suatu saat aku pergi, apa sahabat ku akan mengikhlaskan diri ku?" suaranya terdengar lirih.
"Apa mereka akan melupakan ku?"
"Apa mereka akan bahagia jika tidak ada aku?"
"Apa mereka bisa menjaga dirinya dengan sangat baik, seperti saat aku masih ada?"
"Apa mereka bisa tersenyum lebar jika tidak ada aku?"
"Apa mereka bisa di cintai seorang laki-laki yang hebat, jika tidak ada aku?"
Pertanyaan itu setiap detik ia tanyakan kepada dirinya sendiri. Di petangnya malam yang sunyi pasti akan gadis itu ulang-ulang kembali.
"Apa mereka malah akan bahagia jika aku tidak ada?"
"Apa mungkin mereka tidak akan memedulikan ku jika diri ku pergi?"
"Apa mereka tersenyum jika aku tidak ada?"
Setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari orang lain tentangnya, pertanyaan itu selalu berputar-putar di isi kepalanya.
Matanya terbuka, mengerjab pelan dan menghapus air matanya dengan kasar.
Ia menengok, memandang amplop putih yang berlogo RSKC di sudut bawahnya. Tanganya perlahan terulur untuk membuka amplop tersebut.
Kertas berwarna putih itu keluar dari amplop tersebut. Tangannya bergetar membuka limpatan kertas tersebut, padahal dirinya sudah membacanya berulang-ulang kali untuk memastikan ini benar untuknya.
Senyuman getir ia tunjukan kepada kertas putih itu, ke-dua tanganya terkepal keras. Kenapa masalah ini sangat sulit sekali untuk di terima.
Kertas putih itu dirinya remas sampai tak berbentuk lagi, setelah puas akan aksinya meremas kertas. Muti menyalakan korek api dan membakar perlahan kertas penting itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Surat Terakhir
ContoKisah ini tidak sepenuhnya tentang cinta, hanya menceritakan 6 gadis yang bersahabat sejak masih menduduki bangku sekolah menengah pertama, hingga ke jenjang sekolah menengah atas. Paitnya hidup, kebahagiaan, kesengsaraan. Semua mereka lewati bersa...