11) dia cemburu?

18 6 34
                                    

Tidak harus merasa cemburu. Karena diri ini, bukan siapa-siapanya.

-Kenzo Zavier

* * * * * *

"Sorry, gue belum bisa ke rumah lo" Muti memandang perubahan wajah itu dengan sekejap.

"Ada keperluan yang lebih penting buat gue urusin dulu" pipik wajah cowok tersebut terlihat begitu masam sekali.

"Sepenting apa? Lebih penting dari pada Zen, kah?" Kenzo menegakkan badannya, wajahnya langsung berubah menjadi dingin dan mungkin sedikit menyeramkan menurut Muti.

"Penting banget buat gue. Dan mungkin, lebih penting ketimbang lo!" mendapatkan jawaban yang begitu, membuat Kenzo semakin mengeraskan rahangnya, hingga urat-urat kecil di bagian lehernya terlihat.

"Yaudah pergi aja, gue gak masalah" Kenzo berucap dengan sedikit singkat dan tanpa ekpresi.

Muti tersenyum lebar kepada Kenzo, dan langsung berlari ke arah gerbang sekolah yang sudah terpampang jelas. Sambil melambaikan ke-dua tangannya ke pada Kenzo.

Kenzo berdecak keras. "Dia gak peka banget. Padahal gue lagi marah!" setelah itu. Kenzo diam-diam mengikuti kemana tempat tujuan, gadisnya.

Sampai akhirnya, dirinya melihat Muti sudah memasuki perpustakaan dengan wajah cerianya tanpa ada beban sedikit pun.

Setelah dirinya ikut masuk ke tempat paling ia hindari seumur hidupnya. Dan, demi pujaan hatinya Kenzo memberanikan dirinya melihat orang-orang bodoh yang sedang terduduk diam, dengan buku tebal yang mereka baca hingga sampai bertumpuk-tumpuk, tak lupa kaca mata yang mereka gunakan. Membuat dirinya berkali-kali berdecak sebal.

"Kenapa mereka kek manusia gak hidup? Kenapa juga, tempat ini kek kuburan yang gak ada penghuninya, padahal di sini banyak kutu buku, seperti dia mungkin?" Kenzo menunjuk pemuda manis yang jauh dari posisinya. Matanya tiba-tiba langsung membola sempurna.

"Lu baru dateng? Gue dari tadi nungguin lu lama bener sumpah" cowok tersebut terlihat marah, namun tetap lucu di mata gadis di depannya.

"Sabar cocan, anak sabar di sayang mami" Muti menepuk-nepuk pelan dada sang empuk.

"Bener kah, burik?" Abian, terkikih kecil melihat mata itu menyorot tajam kepadanya.

"Heh bencong, badan bahenol gini, pantat ada, gunung ada, body gue aja kek gitar Spanyol, lu bilang burik? Wah, mata lo harus di bawa ke dukun santet kale, ye" Muti berkacak pinggang, esmosinya jelas sudah terlihat.

"Gue mau nanya, lo kek gitar Spanyol dari seluk mananya sih? Malah yang gue liat dari badan lo tuh kek gitar burik yang udah di ansuransiin deh" Abian memandang Muti dari atas sampai bawa.

"Ngelunjak juga nih bencong, gue tikam langsung mati lu" Muti menarik rambut Abian dengan keras, yang mampu membuat mereka menjadi antesi satu ruangan ini.

Mereka berhenti. "Mut, mata mereka udah pada kek singa nahan berak semua anjer, kabur aja yuk" Abian berdiri di belakang Muti, merasa takut akan tatapan mereka semua.

"Lu kan cowok, minimal maco lah" Muti berpindah tempat di belakang Abian.

"Kagak mau goblok, udah kabur aja kita" Abian menggenggam tangan Muti. Yang terlihat jelas di mata Kenzo, yang hanya sendari tadi menahan esmosinya yang sudah ingin meledak.

5 Surat TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang