9) eratnya malam

18 4 33
                                    

Kita, sebatas pena dan buku. Yang ku harap kembali bersama.

*  *  *  *  *  *

Tidak di sangka hari ini, mereka lalui hingga bertemu malam kembali. Di mana kala, malam hari ini sangat menawan jika di pandang dengan sekujur mata telanjang.

Malam yang di penuhi oleh germeliknya bintang-bintang yang cukup banyak, dengan bulan yang melingkar sempurna layaknya persahabatan mereka.

Terlihat kain putih dengan di atasnya ada satu keranjang kayu yang cukup besar, di sampingnya terdapat makanan-makanan ringan dengan teh yang harumnya cukup semerbak.

Mata mereka tertuju pada awan yang gelap sedikit keputihan, melihat seberapa elok dunia ini.

"Anginnya sepoy-sepoy, ya. Kek di pantai?" Jauzi. Meresapi sentuhan angin lewat di malam hari ini, cukup dingin namun menyegarkan.

"Pikiran lu pantai mulu, nyed" jika gadis ini sudah berbicara, maka ia akan merusak suasana sekitar. Dia adalah Sasa. Orang yang paling rempong di antara mereka.

"Kalian bisa diem?" Mentari berucap, dengan mata yang masih menatap awan malam ini.

Mulut mereka tertutup rapat-rapat, tidak berani untuk berucap. Seakan ada se-seorang yang membekapnya.

"How are you today?" Muti memandang mereka satu persatu, silir bergantian.

"I'm so good!" gadis dengan rambut sebahunya itu menjawab.

"Gue baek. Baek banget malah" Lisa tersenyum lebar, mengingat kejadiannya dengan kakak kelasnya tadi sore.

"Hari ini gue bahagia banget, gue malah ngerasa lebih hidup" Sasa tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Muti.

"Wahh, hidup gue bahagia terus dong. Hidupkan cuma sekali, harus heppy kiyowo" mereka bergedek, mendengar jawaban Jauzi.

"Si yang paling kagak punya beban hidup nih, rupawan?" bibirnya cemberut menanggapi ucapan Jauzi.

"Dih, si paling hidup sengsara ngeulti tuh" Lisa bergedek bengek menatap wajah Sasa.

"Diem deh anak haram, nyimak aje bisa kagak?"

"Anjing, gue bukan anak haram monyed. Tapi.." Lisa menjeda ucapannya.

"Anak yang gagal di aborsi!" Lisa tertawa terbahak-bahak, kagum dengan dirinya sendiri karena candaan yang ia buat.

"Ihh, Veve kok ngeri ya sama Lisa" Veve beringsut mundur untuk berlindung di belakang Jauzi.

"Kenapa?"

"Karena muka Lisa kalo lagi ketawa mirip genderuwo yang ada di pohon beringin, Veve jadi takut" mereka sudah menahan tawanya, setelah mendengar olokan Veve.

"Kalo jadi orang, jangan terlalu jujur napa" Muti menoyor kepala gadis itu pelan.

"Emang salah? Lebih baik ceplas-ceplos dari pada munafik!" Veve menekan semua perkataannya untuk para awak yang membaca.

"Semenor-menornya mulut lu, kalo ngomong pedes juga" Lisa tersedak oleh kenyataan kali ini. Di mana, dirinya di hina sekaligus mendapatkan motivasi.

"Lah Veve mah selalu bener!" teriaknya kencang sambil mengakat satu tangannya, persih seperti super hero.

"Beby monyed akan selalu bener, kan?" saut Mentari.

"Bintangnya cantik, ya?" Muti mengalihkan percek-cokan kecil para sahabatnya.

"Cantik banget, mirip kek incess Sasa!" Sasa terkikih sendiri akan ucapannya.

"Sadar diri, bisa?" Lisa memutar bola matanya malas.

5 Surat TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang