14) barbequ-an

16 5 14
                                    

Waktu yang tepat akan membuktikan, bahwa tidak setiap keluh kesah harus selalu di ungkapkan.

* * * * * *

Terlihat, sekumpulan pemuda pemudi menggelak tawa yang cukup kencang. Mereka larut akan candaan yang di buat oleh masing-masing di antara mereka.

Salah satu dari mereka, menata daging mentah itu di atas pemanggang.

"Gue nggak nyangka, kita bisa sedeket ini!" Riki memulai pembicaraan duluan.

"Padahal dulu kita pernah ngehukum cewek-cewek nakal ini!" Lisa yang tak terima jika dirinya di bilang nakal pun langsung menginjak kaki sang pembicara.

Raut wajah Alden berubah masam. Apa-apaan ini, kakinya di injak seperti tidak mempunyai harga diri saja?, bukankah dia tipikal cowok yang sangat benci jika di tindas?.

Tapi, kenapa dengan dirinya sekarang?, ia malah bahagia jika yang menginjak kakinya adalah seorang cewek yang dulu pernah ia benci.

"Lo sehat kan?"

Alden menoleh dan langsung bertatapan dengan Andrian. "Sehat!" jawabnya dengan pandangan yang masih terfokus kepada kakinya.

"Keknya lo harus di bawa ke psikolog deh!" getak Andrian.

"Buat?"

"Nyembuhin kegilaan lo yang belum menjadi-jadi" tangan Andrian menyaut cepat pergelangan Alden, yang mampu membuatnya kaget.

"Lo yang gila!" Alden menepis sengit tangan Andrian.

"Lo tuh yang gila, senyam-senyum kok sama kaki lo yang baunya ngelebihin tai gue" Andrian menggelengkan kepalanya bengek, dengan kegilaan kecil yang temannya perbuat.

"Fuck you!" geram Alden, yang sekarang ini rasanya ingin membogem wajah pari purna Andrian.

"Ribut mulu kerjaan lo berdua" ucap Kenzo yang baru saja datang dengan kursi rodanya, tak lupa ada gadis yang membantunya.

"Akhirnya, dateng juga si bucin angkut satu ini" sambar Riki, yang hanya mendapatkan tatapan tajam dari Kenzo.

"Yang kagak duduk, dagingnya bakalan gue abisin semua!" ucap rakus Jauzi.

"Jadi cewek nggak boleh rakus, cantik" Jauzi yang mendapatkan bisikan lirih dari sampingnya pun langsung spontan menoleh.

Jauzi mendapatkan Riki tersenyum hangat padanya, yang mampu membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Kenapa senyumannya mengingatkannya lagi pada kenangan menyakitkan itu, bukankah ini sangat tidak adil baginya?.

Ia langsung cepat-cepat mengalihkan pandangan di antara mereka berdua, agar rasa yang sudah dirinya pendam dalam-dalam tidak bangkit lagi.

"Lah, lo boleh keluar?" tanya Alpan, yang baru berani berbicara.

"Tadi sih nggak boleh, tapi gimana lagi dia nya nyogok sama ngancem dokternya" bukan Kenzo yang menjawab, tapi melainkan Muti yang angkat bicara.

Kenzo hanya menatap Muti teduh, tak berani mengelak. Karena semua yang di katakan gadisnya itu memang benar adanya.

"Sumpah lu parah banget, kalo sampe dokternya ngompol di celana cuma gara-gara anceman lu, apa kata dunia?" Mentari tak habis pikir dengan cowok tanpa ekpresi yang dekat dengan sahabatnya ini.

5 Surat TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang