Senandung kedelapan

274 62 1
                                    

"Kita makan di Solaria aja ya?" Kataku saat mengajak Hangga masuk ke mall. Karena dekat dari rumah jadi kami jalan kaki. Lewat pintu besi samping yang memang sengaja buat lewat karyawan mall, yang mau beli makan di pedagang kaki lima. Yang memang banyak terdapat di sekitar mall Kramat Jati.

Ada warteg, rumah makan padang, tukang soto, nasi goreng dan seabrek tukang jualan lainnya. Tapi karena takut Hangga tidak biasa makan makanan kaki lima, aku bawa dia ke dalam mall.

Takut kalau nanti dia sakit atau kenapa-kenapa habis makan makanan pinggir jalan. Ngeri disuruh tanggung jawab. Meski lebay sebenarnya.

"Boleh, kamu lagi kepengin makan di Solaria?"

"Nggak sih, cuma takut aja elu diare kalo makan sembarangan. Apalagi di kaki lima kayak gitu."

"Siapa bilang? Aku kan yo biasa makan di kantin. Cuma jangan makan makanan pedas, Al. Aku ndak biasa."

Apa orang Solo gak bisa makan pedes?

"Jadi gimana? Mau makan di sini apa di luar aja?" tanyaku waktu kami sudah berada di depan restoran Solaria.

"Yo ning kene wae, kamu yang pesen, Al. Take away aja ya. Kita makan di rumah kamu."

"Oke." Aku segera mengambil kertas menu dan pensil. "Gak usah pakai minum ya. Di kulkas gue banyak air minum."

"Yo. Pesen tiga lagi Al nasi gorengnya."

"Hah? Banyak banget, ngga. Emang elu satu gak kenyang? Buat dibawa pulang?"

"Buat kakakmu. Bukannya kamu punya tiga abang? Mereka pasti belum makan nanti pas pulang kerja."

Hangga...ingat buat memesankan makanan untuk ketiga abangku? Dengan setengah linglung aku memesankan tiga nasi goreng lagi untuk ketiga abangku, sama seperti aku. Bedanya kalau aku nasi goreng bebek cabe hijau, ketiganya kupilihkan nasi goreng kambing.

"Ngga, elu mau makan apa?"

"Terserah kamu, Al. Yang enak aja."

"Chicken cordon bleu mau?"

"Boleh. Tambah express bowl mix ya. Aku juga mau orange juice." Hangga ikut melihat menu di tanganku. "Jus sirsak juga kayaknya enak."

"Katanya gak usah pake minum..." Aku sampai menahan napas menyadari posisi kami yang lagi-lagi terlalu dekat. Karena Hangga duduk di sampingku, karena ikut melihat menu jadi kepalanya berdekatan dengan wajahku.

Kalau orang lihat pasti dikiranya kami lagi pacaran. Dua pasang kekasih yang sedang asyik memilih menu makanan!

Pelayan yang kami panggil datang dan mulai menghitung harga menu makanan yang kami pesan. Hangga cepat membayar harga makanan. Harga makanan yang ia bayar setara dengan uang belanja empat harinya Bang Timo. Abang tertuaku yang memang biasa masak dan belanja ke pasar.

Seratus ribu sehari. Itu kalau gak dapet printilan sayur gratisan dari orang-orang pasar yang kenal abangku. Kalau dapet gratisan sayur, malah gak sampai segitu pengeluarannya.

Tapi mungkin bagi Hangga, uang sebesar itu gak berarti apa-apa.

Waktu kami keluar dari mall lewat pintu samping, kami berpapasan dengan Bang Timo yang sedang jaga. Lengkap dengan pakaian securitynya.

"Abang." Panggilku.

"Ngapain kamu di sini, Al?"

"Habis dari Solaria. Nih, buat abang. Nasi goreng kambing."

"Kamu emang punya duit beliin abang nasi goreng Solaria? Ini mahal loh, Al. Abang mah warteg juga cukup, lagian tumben-tumbenan beliin abang nasi goreng Solaria."

"Ini dibeliin Hangga, bang."

"Oh, dibeliin pacar kamu. Pantesan. Makasih ya, ngga. Rejeki ini mah."

"Iya. Sama-sama, bang." Hangga mengangguk. Dia sama sekali gak ngebantah dibilang pacarku, cuma aku saja yang jadi malu...

"Abang, Al pulang dulu. Mau makan. Ntar dingin lagi makanannya."

"Ya udah sana. Awas, jangan macem-macem ya. Di rumah gak ada siapa-siapa loh."

"Emang kita mau ngapain, bang? Hangga cuma mau numpang makan kok," kataku, lalu setelah pamit dengan Bang Timo. Aku mengajak Hangga keluar mall.

"Hallo, Alyssa cantik." Keluar dari mall dan sedang berjalan dengan Hangga, sebuah sepeda motor mensejajarkan langkah kami. Ternyata Dirga, anak Pak Rt. "Baru pulang, Al?"

"Iya. Kenapa muka lu? Kok bonyok begitu?"

"Habis kena tampol gue, Al. Biasalah, anak muda. Tawuran."

"Emang tawuran kebiasaan anak muda ya?"

"Ya elah, Al. Kalo gak tawuran, bukan anak laki namanya."

"Beuh, filosofi dari mana itu? Tawuran melulu, kasian orang tua lu, keluar duit banyak buat nyekolahin. Anaknya malah kerjaannya tawuran melulu. Sekolah tuh mahal, Dir. Apalagi sekolah swasta kayak kita. Uang pangkalnya aja jutaan. Belum lagi bayaran tiap bulannya."

"Omongan lu, Al. Udah kayak emak gue." Dirga melihat ke arah Hangga yang sedari tadi diam saja. "Siapa Al?"

"Oh, ini? Temen gue. Hangga. Ngga, ini tetangga gue. Dirga." Aku memperkenalkan keduanya.

"Cuma temen?" tanya Dirga mencoba meyakinkan perkataanku.

Tapi belum sempat aku menjawab, sudah didahului Hangga.

"Bukan. Tapi calon, calon pacar."

Aku kaget, Dirga apalagi. Sementara Dirga menatapku dan Hangga bergantian dengan tampang dungunya, Hangga cuma mengulas senyum tipis.

Eh??? Kok???

Senandung cinta untuk Alyssa(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang