Senandung sebelas

262 63 1
                                    

"Al, Hangga tuh." Rere menyenggolku, menunjuk ke arah pintu kantin dengan dagunya. Aku melihat Hangga sedang berjalan masuk dengan seorang gadis di sampingnya. Mereka terlihat berbicara dengan akrab dan serius. "Tuh cewek siapa, Al? Yang lagi sama Hangga."

"Diana. Adik kelas."

Saat ini Hangga tidak memakai kaca matanya, karena menurut pengakuannya gagang kaca matanya pecah dan dia belum sempat ke optik buat beli kaca mata baru. Sebagai gantinya, dia memakai kontak lens.

"Tuh cewek nempel banget sih sama Hangga, elu gak cemburu?"

"Kenapa gue harus cemburu?"

"Kan elu pacarnya. Ada gitu pacar yang gak cemburu lihat pacarnya lagi sama cewek lain? Mana deket banget lagi. Tuh cewek kegatelan banget sih. Mentang-mentang Hangga sekarang ganteng gak pake kaca mata."

"Santai aja kali, Re." Aku mencoba bersikap wajar, meski agak sebal juga melihat Diana yang jelas-jelas nempel sama Hangga. Apalagi semenjak tidak pakai kaca mata, Hangga memang terlihat sangat tampan. Dengan potongan model rambut heartthrob, yang memang sesuai dengan wajahnya. Ia jadi berkali-kali lipat lebih ganteng.

Tapi kalau aku harus cemburu atau menunjukkan kecemburuanku sama Hangga, rasanya itu salah. Karena meski hubungan kami dekat atau sering pulang pergi ke sekolah bareng, karena sekarang kami bertetangga. Tapi di antara kami berdua tidak ada hubungan apa-apa. Kami berdua cuma teman.

Tapi kenapa aku merasa tidak suka melihat kedekatan Hangga dengan cewek lain?

"Al." Hangga tiba-tiba saja sudah berada di depanku. Mengagetkanku dari lamunanku. "Nanti kamu pulang sendiri ya. Hari ini aku ndak bisa nganter kamu. Mau ngajarin Diana matematika. Soalnya olimpiade tinggal beberapa minggu lagi. Pak Zammy meminta aku melatih Diana."

"Cuma Diana?" tanyaku memandang cewek berponi di depanku, yang kini duduk di samping Hangga. Diana terlihat takut-takut menatapku, apa tatapanku kelihatan gak sukanya sama dia?. "Syahir sama Fadil?"

"Mereka ndak ikut. Karena yang masih banyak perlu latihan itu Diana."

"Jadi kalian belajar cuma berdua? Elu ngebimbing adik kelas cuma berduaan aja?" Celetuk Rere tiba-tiba. "Mau belajar apa pacaran? Kalo cuma dia yang perlu bimbingan karena gak becus ngerjain soal matematika. Kenapa dia yang kepilih? Emang gak ada kandidat lain yang lebih pintar?"

Hangga terlihat terkejut mendengar ucapan frontal dan sinis Rere. Sementara Diana semakin menundukkan wajahnya. Mana mungkin dia berani melawan kakak kelas?

"Diana itu pintar kok, cuma harus banyak berlatih saja." Hangga mencoba membela Diana, yang entah kenapa malah membuat dadaku sakit. Ada rasa tidak suka melihat Hangga membela cewek lain selain aku.

"Oke, gue gak apa-apa kok pulang sendiri. Gue tahu elu sibuk. Olimpiade matematika kan sangat penting. Menyangkut prestasi sekolah." Aku cepat memberi isyarat pada Rere agar tidak melanjutkan ucapan frontalnya. Aku tidak mau Rere dan Hangga jadi berantem hanya perkara sepele.

Rere berdecak tidak senang. Tapi akhirnya menutup mulutnya.

"Kak Hangga mau makan apa? Biar Di pesenin." Suara lembut Diana terdengar. Aku lagi-lagi mengerutkan kening mendengarnya. Apa biasanya cewek ini bicara selembut ini ya?

"Gado-gado lontong boleh, minumnya teh botol dingin. Gado-gadonya jangan pedes ya." Hangga mengeluarkan selembar uang seratus ribuan. "Sekalian bayar sama makanan kamu."

"Gak usah, kak. Biar Di aja yang bayar, anggap saja ucapan terima kasih karena Kak Hangga udah mau ngajarin Di matematika."

"Itu kan karena aku pernah ikut olimpiade, jadi sedikit banyak tahu soal-soal yang pernah keluar saat olimpiade. Meski mungkin nanti ndak sama."

"Tetap saja. Di berterima kasih sekali sama Kak Hangga."

Aku dan Rere saling pandang melihat kedua mahluk di depanku ini bicara begitu manis satu sama lain. Apa mereka sengaja mengumbar kemesraan atau Diana yang sengaja bersikap berlebihan pada Hangga?

"Al, elu udah kelar makan? Yuk cabut."

"Oke." Aku mengangguk.

"Loh, Al. Kamu mau kemana? Ndak menemani aku makan dulu tho?"

"Balik ke kelas. Udah ada Diana yang nemenin elu makan, ditraktir lagi. Jadi gak ada gunanya juga gue di sini kan?"

"Kok kamu ngomong begitu, Al? Memang kenapa kalau ada Diana?"

"Gue cuma gak mau jadi obat nyamuk. Udah ah, gue duluan."

"Biar aku yang bayar makananmu sama Rere."

"Gak usah. Gue sama Rere udah bayar tadi. Yuk, Re. Cabut." Aku segera memberi isyarat pada Rere agar segera meninggalkan kantin. Sempat melirik Diana yang masih memesan makanan.

Diana memang terlihat kalem dan lembut. Ah, apa yang kayak gini itu tipe ceweknya Hangga ya?

"Si Hangga bego atau pura-pura gak sadar sih, Al? Kelihatan jelas banget si Diana itu naksir dia. Lagi deketin dia, pake alasan ngajarin matematika buat olimpiade lagi. Udah gitu cuma berduaan aja. Ih, gemes gue sama Hangga." Rere langsung mengeluarkan unek-uneknya begitu kami keluar dari kantin dan berjalan menuju kelas.

"Tapi kan emang si Hangga ditugasin Pak Zammy buat ngajarin adik kelas yang ikut olimpiade, Re. Hangga sendiri yang bilang sama gue."

"Kalo dia ngajarin yang dua lagi gak masalah, Al. Lah ini, kenapa cuma si Diana itu coba? Gue rasa ini akal-akalannya Diana biar bisa deketin Hangga. Pake sok lembut bin kalem segala."

"Diana kan emang kalem, lembut lagi. Elu gak liat cara dia ngomong? Beda lah sama gue yang gak ada lembut-lembutnya."

"Dih, dia lembut dibikin-bikin begitu. Drama tau. Al, elu beneran gak cemburu? Gak marah? Pacarlu mau berduaan sama cewek lain loh ini."

"Hangga bukan pacar gue!"

"Ah, yang bener? Bukan pacar lu?"

"Iya, Re. Jadi gue gak berhak lah cemburu dan ngelarang dia dekat sama cewek lain. Hangga bebas mau deket sama cewek mana aja."

"Tapi kan selama ini...elu deket banget Al sama Hangga. Gue sama temen-temen yang lain aja ngiranya elu sama Hangga itu pacaran."

"Kok elu bisa ngira kayak gitu sih?"

"Habisnya, tiap pulang sekolah Hangga selalu nungguin elu di depan pintu kelas. Padahal gue yakin kita juga jam pulangnya barengan. Tapi selalu dia yang nungguin elu. Terus berangkat juga kan elu bareng dia kan? Belum lagi pas makan di kantin. Pastilah Hangga nyamperin elu. Siapa yang gak ngira kalo lu berdua itu ternyata gak pacaran?"

Aku tertegun mendengar ucapan Rere. Apa aku dan Hangga memang sedekat itu? Ke mana-mana selalu berdua. Bahkan kini Hangga mengontrak di sebelah rumahku.

Wajar bukan kalau semua orang mengira aku dan Hangga memiliki hubungan khusus seperti pacaran?

Apa aku yang merasa terlalu nyaman di dekat Hangga, bersama Hangga. Hingga tidak sadar bila kedekatan kami disalah tafsirkan sampai seperti ini?

Dan yang menjadi pertanyaanku saat ini adalah, apakah Hangga juga tahu bila teman-teman kami juga berpikir bila kami berdua adalah sepasang kekasih? Tahukah dia perihal kesalah pahaman ini?

Senandung cinta untuk Alyssa(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang