Senandung kelima belas

282 58 2
                                    

"Kamu ngapain, Al?"

Aku yang baru saja menyalakan keran air dan sedang menyiram motor Bang Rino, menoleh mendengar suara Hangga. Aku lihat Hangga sedang berdiri sambil bersedekap tangan di depan dada. Memperhatikanku dengan mata menyipit.

"Nyuci motor Bang Rino. Lumayan, dapet upah dua puluh ribu buat nyuciin motornya," jawabku sambil nyengir.

Mata Hangga bolak balik melihatku dari atas ke bawah. Dari bawah ke atas, wajahnya terlihat masam.

"Kamu nyuci motor pakai baju kayak gitu?"

Aku melihat kaos oblong dan celana pendek yang aku kenakan. Apa ada yang salah dengan bajuku? Kan mau nyuci motor, masa harus pakai gaun? Sudah pasti baju bakal basah kalau habis nyuci motor. Karena itu aku sengaja pakai celana pendek.

"Kenapa?"

"Paha kamu itu loh, kelihatan ke mana-mana. Ganti baju sana. Pakai celana panjang. Sini, biar aku saja yang nyuci motor abang kamu." Hangga mengambil alih selang air dari tanganku.

"Emang elu bisa nyuci motor?"

"Nyuci mobil aja bisa kok, apa susahnya cuma nyuci motor?" Hangga mencibir meremehkan. "Sudah sana, ganti baju. Aku ndak mau pacarku pamerin tubuhnya ke mana-mana. Ndak sopan."

Kepengin rasanya memeletkan lidah. Urusan pakai celana pendek saja dipermasalahkan. Abang-abangku saja tidak melarang. Sekarang punya pacar malah dilarang. Tapi aku tidak membantah, aku segera masuk ke dalam untuk ganti baju. Meski sedikit merengut. Dan keluar lagi sudah pakai celana panjang jogger.

"Marah?" tanya Hangga melihat bibirku yang manyun.

"Nggak..." Aku menggeleng.

"Kamu tahu Al, kenapa aku melarang kamu pakai celana pendek?"

"Karena elu gak mau paha gue kelihatan ke mana-mana?"

"Salah satunya itu. Tapi yang penting lagi, aku cuma mau kamu menghargai tubuh kamu sendiri. Kalau nanti kita sudah menikah, kamu boleh kok pakai celana pendek di depanku. Telanjang juga boleh, aku malah senang."

Dih, kenapa jadi ngomongin soal nikah?

"Sana gih beli camilan. Biar kamu ndak manyun terus." Hangga menyodorkan uang seratus ribuan padaku. "Aku beliin tahu waliknya Mas Kirman, Al. Enak tahunya."

Jadi begitulah. Akhirnya Hangga yang mencuci motor Bang Rino dan aku yang menemani sambil makan cemilan yang aku beli di tukang gorengan. Ada tahu isi, tahu walik, tempe gorengan, ubi goreng, cireng. Aku juga membeli dua botol teh pucuk harum dingin. Pada dasarnya aku cuma mandorin kerjaan Hangga.

Beberapa tetangga yang lewat, usil menggoda. Karena memang rumahku di gang sempit. Contohnya kayak Bang Dul.

"Jiah..Alyssa, enak banget dah jadi mandor. Pacarnya yang nyuci motor, anteng banget makan gorengan."

"Sirik aja, Bang. Noh dicariin Mpok Wati. Katanya abang maen gaplek melulu di pos ronda. Warung gak ada yang nungguin."

"Yah...gak asyik lu, Al."

Sementara beberapa tetangga yang kebetulan lewat usil menggoda, Hangga kulihat tidak menanggapi. Cuma senyum kecil, tidak seperti aku yang membalas celetukan mereka.

"Di sini rame, orang-orangnya care sama tetangga," kata Hangga yang sudah selesai menyuci motor dan sedang melap motor dengan kanebo hingga kering.

"Usil maksud lu?"

"Ndak lah. Mereka cuma menyapa, itu salah satu wujud dari keakraban antar tetangga kan?"

"Ya, karena kita tinggal di dalam gang. Coba kayak waktu itu elu tinggal di apartemen. Atau di perumahan elit, gak mungkin kan ada tetangga hilir mudik depan rumah lu. Terus usilin elu yang lagi nyuci motor."

"Karena itu aku suka tinggal di sini. Banyak warna. Gak monoton. Hidup juga gak sepi."

"Gimana mau sepi kalo tembok antar tetangga aja dempetan, ngga. Kalo nyetel kaset dangdutan kedengeran. Udah gitu ini daerah pasar. 24 jam gak ada sepinya. Jam dua malem aja tuh pasar Kramat Jati masih rame. Kan lu liat sendiri, kalo malem banyak pedagang sayur di pinggir jalan. Jadi ya, otomatis daerah ini gak pernah sepi."

"Iya. Baru kali ini aku merasakan suasana yang 'hidup' seperti di tempat ini. Aku ini anak tunggal, Al. Tidak punya saudara. Tidak punya kakak atau adik. Aku terbiasa sendiri. Bahkan tinggal di apartemen juga sendiri. Hanya waktu di Solo, aku tinggal bersama kakek nenekku."

Hangga menaruh kanebo, mencuci tangannya di kran air yang ada di depan rumah. Lalu ikut duduk di sebelahku di bangku teras.

"Terus...orang tua lu?"

"Mama sudah lama meninggal. Papa sudah punya keluarga baru lagi. Aku sebenarnya punya adik dua. Lelaki dan perempuan, tapi aku ndak cocok dengan keluarga baru papa. Jadi lebih memilih tinggal sendiri."

"Mereka ada di Solo?"

"Ya. Cuma papa sering ke Jakarta untuk mengurusi toko-toko batik kami di sini. Di Jakarta kan juga ada kantornya. Karena toko batik kami paling banyak ada di Jakarta. Selain kota-kota besar lainnya di Indonesia."

Baru kali ini Hangga bercerita banyak tentang keluarganya padaku. Ternyata ibunya sudah tiada, satu fakta yang baru aku tahu. Dan aku juga baru tahu, sebelum ibu Hangga meninggal. Ayahnya memiliki perempuan lain bahkan memiliki anak dengan perempuan itu, yang memicu depresi ibu Hangga. Karena penghianatan suaminya.

Setelah ibu Hangga meninggal, ayahnya menikahi perempuan itu yang kini menjadi ibu tiri Hangga. Tapi Hangga tidak akur dengan ayah dan keluarga barunya. Hingga hidup terpisah.

Kakek dan neneknya yang sangat menyayangi Hangga, sebenarnya sangat menentang pernikahan kedua ayah Hangga dengan simpanannya ini. Tapi karena ayah Hangga, anak kandung mereka. Meski pernikahan itu tidak diakui, ayah Hangga tetap diijinkan mengelola pabrik batik dan puluhan toko batik yang ada.

Namun Hangga, oleh kakek dan neneknya diberi bagian saham 60 %. Sisanya yang empat puluh persen dibagi ke ayahnya dua puluh persen. Dan dua puluh persen lagi tetap dipegang kakeknya.

Hal ini memicu kemarahan ayah Hangga, yang menganggap orang tuanya tidak adil. Lebih menyayangi dan mementingkan cucu mereka daripada anak kandung yang notabene adalah ayah Hangga.

Namun hal ini sengaja dilakukan kakek Hangga karena tidak ingin harta keluarga Tjokrokusumo jatuh ke tangan ayah Hangga. Apalagi ayah Hangga sudah memiliki keluarga baru dan anak dari istri barunya itu. Hingga ada kemungkinan Hangga akan tersingkir dari daftar ahli waris, bila tidak segera diberi bagian saham dari perusahaan.

Bagaimanapun, kakeknya hanya mengakui Hangga sebagai satu-satunya cucu sah dari Tjokrokusumo. Dan tidak menganggap anak-anak ayahnya dari istri barunya sebagai bagian dari keluarga Tjokro. Karena itu dari awal, pewaris dari perusahaan itu sudah ditentukan. Yaitu Hangga.

Aku hanya menghela napas mendengar cerita Hangga. Tidak menyangka betapa rumitnya jalan hidup keluarga kaya seperti Hangga.

Dan tanpa aku sadari, aku sudah terjebak ditengah-tengah kerumitan itu.

Senandung cinta untuk Alyssa(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang