Senandung ketujuh belas

283 63 3
                                    

"Kamu ndak usah cemburu sama Diana. Aku sama dia ndak ada apa-apa, murni cuma teman." Hangga memasangkan seat belt padaku, kami sedang berada di dalam mobil. Siap untuk pulang.

"Siapa yang cemburu?"

"Dari tadi bibir manyun begitu ndak cemburu? Apa sedang cosplay jadi ikan mas koki?"

Aku tambah manyun.

"Ayo, senyum. Kamu lebih cantik kalau tersenyum. Senyum, Al. Atau aku cium?"

Dih!

"Lagi pula buat apa cemburu? Mulai hari ini, dia juga sudah tahu kalau kamu itu pacarku."

Wajahku bersemu merah mendengar ucapan Hangga. Bagaimana Diana gak bakal tahu kalau tadi Hangga melakukan tindakan yang di luar dugaan coba? Berjongkok dan mengikat tali sepatuku di depan Diana!

Mana ada sih cowok yang cuma sekedar teman, mau mengikat tali sepatu teman ceweknya kalau bukan orang istimewa? Terlebih lagi tadi bukan cuma Diana yang lihat, tapi juga Rere dan beberapa temanku yang kebetulan mau kembali ke kelas. Ah, Hangga bikin malu saja!

"Hari sabtu ini, kita pergi ya Al."

"Kemana?" tanyaku menoleh pada Hangga yang sedang pegang setir mobil. Konsentrasi melihat jalan di depannya. Hampir jam setengah empat sore, jalanan Jakarta sudah macet saja.

"Kamu lupa ya, Al. Sabtu ini kan ulang tahunku."

Ulang tahun Hangga? Aku bukan lupa, tapi memang tidak tahu. Hangga tidak pernah menyebutkan kapan persisnya ulang tahunnya. Aku juga tidak pernah bertanya perihal tanggal lahir Hangga. Buat apa? Kan aku bukan petugas kelurahan.

"Ulang tahun yang kedelapan belas?"

"He-eh. Opa datang dari Solo sabtu ini. Dan mengajak aku makan di Hotel. Sekedar untuk merayakan ulang tahunku, karena aku ndak mau pesta aneh-aneh. Cukup makan siang dengan opa. Sayang oma gak bisa datang. Kamu ikut aku, Al."

"Kenapa gue harus ikut? Kan elu mau ketemuan sama opa lu, ngga. Memangnya gak apa-apa kalo gue ikut? Ini acara ulang tahun lu loh."

"Cuma makan siang, Al. Kenapa kamu ndak boleh ikut? Lagi pula cuma aku sama opa saja kok. Jadi bertiga kalau sama kamu."

Saat itu mobil berbelok menuju jalan segitiga emas Jakarta. Aku menoleh pada Hangga.

"Kita mau ke mana?"

"Beli baju buat hari sabtu nanti."

Ternyata Hangga mengajakku ke sebuah pusat perbelanjaan besar di daerah Sudirman. Setelah memarkir mobilnya, kami menuju lantai atas dengan menggunakan lift. Tujuannya adalah sebuah toko batik besar dan prestisius yang berada di dalam pusat perbelanjaan itu.

"Opa pecinta batik, Al. Jadi sabtu ini kita pakai baju batik untuk makan siang sama opa." Hangga menjelaskan saat kami sudah memasuki toko batik yang lumayan besar.

Sejak tanggal 2 oktober tahun 2009 lalu, batik didaftarkan sebagai warisan budaya Unesco. Maka setiap tanggal 2 oktober dijadikan sebagai hari batik nasional. Kini batik tidak lagi dipandang sebelah mata seperti dulu.

Yang cuma dianggap busana untuk kaum tua. Bahkan sekarang pegawai kantoran dan pemerintah diwajibkan memakai batik setiap hari senin. Karena batik sudah naik kelas, kini model busana batik juga beragam dan mengikuti perkembangan zaman.

Itu bisa kulihat dari beragam model dan corak dress yang tergantung. Pegawai toko terlihat ramah menyambut kami, rupanya mereka sudah mengenal Hangga sebagai pemilik toko batik.

"Kamu pilih saja yang mana yang kamu suka, Al. Cantik-cantikan modelnya?"

"Emm... " Aku mengangguk. Memang cantik-cantik tapi harganya... ya ampun mahal sekali.

Sepotong dress batik bahan katun seharga delapan ratus ribu lebih? Motif dan model yang lain harganya bahkan sampai satu juta! Mahal sekali batik merek keluarga Hangga ini. Apa sih yang membuat harganya mahal?

"Ini karena motifnya, Al." Hangga menjelaskan waktu diam-diam aku bertanya kenapa harga baju batik di tokonya ini mahal-mahal. "Yang kamu pegang ini, meski bahannya katun, tapi motifnya batik tulis. Bahan katunnya kan juga beda. Di jamin ndak luntur warnanya. Ndak bakal kecewa beli di toko keluarga aku ini."

Emm... kenapa Hangga jadi kedengeran seperti berpromosi ya? Tapi memang sih, sepertinya kualitasnya memang beda. Gak salah yang dibilang Bang Timo, kalau merek batik milik keluarga Hangga itu memang batik kelas atas.

Hangga kulihat memilih baju batik model slim fit lengan pendek yang motifnya senada dengan dress pilihanku. Waktu ia mau membayar di kasir, lagi-lagi aku bingung.

Bukankah ini toko batik miliknya? Kenapa dia malah membayar untuk dua potong pakaian yang kami pilih?

"Harus begitu dong, Al." Hangga lagi-lagi menjelaskan kebingunganku. "Biar toko sendiri tetap harus bayar. Uang perusahaan dan uang pribadi harus terpisah. Ini namanya manajemen keuangan. Biar tidak rancu."

Aku kembali manggut-manggut mendengar penjelasan Hangga. Baru mengerti kenapa dia tetap membayar meski membeli di toko yang notabene miliknya sendiri.

Saat keluar dari toko, kami berpapasan dengan seorang wanita paruh baya bersama seorang pemuda dan pemudi yang usianya tidak berbeda jauh dari Hangga.

Ketika aku melihat ekspresi gelap di wajah Hangga, aku menyadari ketiga orang ini adalah orang-orang yang mungkin tidak ingin ditemui oleh Hangga.

Senandung cinta untuk Alyssa(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang