Aku dan Hangga duduk di sofa ruang tamu saling bersisian. Di depanku duduk Bang Timo, Bang Rino dan Bang Syahrul. Tampangnya sudah seperti hakim yang mau mengadili pasangan yang baru saja berbuat selingkuh.
Membuatku tidak tahu, mesti tertawa atau menangis.
"Bisa gak kalian duduknya jangan nempel-nempel begitu?" Bang Rino buka suara. Mendengar itu Hangga segera menggeser duduknya agak menjauh. Gak jauh-jauh amat sih. Cuma tiga jari doang. Seperti enggan disuruh duduk berjauhan.
"Jadi...kalian ini...pacaran?" tanya Bang Timo yang kelihatan sekali berat buat bertanya seperti itu. Kayak ada biji kecapi nyangkut di tenggorokannya. "Sejak kapan?"
"Baru hari ini, bang." Hangga menjawab jujur. "Tapi saya suka sama Al sudah lama."
"Oh, karena itu kamu pindah ke rumah sebelah? Karena mau mengejar adik kami?" Kali ini Bang Rino yang bertanya. Bang Syahrul masih diam, maklum sih dia kan gak terlalu kenal sama Hangga.
Maklum, pekerjaannya di konter hp memang membuat Bang Syahrul jarang bertemu Hangga. Masuk jam sembilan pagi, pulang jam sembilan malam. Gajinya? Pas-pasan, dengan jam kerja yang tidak manusiawi. Tapi mau bagaimana lagi? Lulusan SMA apa bisa pilah pilih pekerjaan?
Sementara setiap tahunnya, lulusan SMA makin banyak. Makin banyak saingan yang muda-muda. Sementara lapangan pekerjaan semakin sedikit. Hari ini saja Bang Syahrul pulang cepat, gak tahu kenapa. Belum sempat nanya juga. Karena sudah keburu 'di sidang'.
"Iya, bang." Hangga lagi-lagi mengangguk. Jujur.
"Kamu gimana, Al?" Kali ini Bang Timo yang bertanya padaku. "Kamu juga suka sama Hangga?"
"Iya, bang."
"Cepet amat jawab iyanya, Al." Celetuk Bang Syahrul. Aku cuma menunduk malu.
"Abang gak ngelarang kok kamu pacaran, Al. Asal bisa jaga diri. Apalagi kalian berdua masih sekolah, abang gak mau kejadian si Lela anak Mpok Mardiah terjadi sama kamu. Putus sekolah gara-gara hamil duluan. Sekarang tiap hari kerjanya berantem melulu sama lakinya. Udah dari kecil nyusahin orang tua. Udah kawin, masih nyusahin juga."
"Kami ndak akan berbuat jauh, bang. Saya ndak akan berani berbuat macam-macam sama Alyssa," ucap Hangga yang membuat aku menoleh padanya. Lah, tadi yang barusan minta cium siapa ya?
Tentu saja aku tidak berani mengatakan itu di depan Bang Timo. Bisa habis Hangga sama ketiga abangku kalau ketahuan tadi minta cium. Apa kalau tadi mereka tidak keburu datang, aku bakal mengabulkan keinginan Hangga ya? Membiarkan Hangga menciumku? Mendadak pipiku terasa panas.
"Bagus. Laki-laki itu yang dipegang ucapannya." Bang Timo mengangguk. "Tapi kami belum kenal betul siapa kamu. Keluarga kamu, orang tua kamu. Di mana rumah kamu. Alyssa juga gak tahu kan? Kamu tahu Al, orang tua Hangga kerja apa?"
Aku menggeleng. Aku memang tidak tahu apa-apa tentang Hangga. Tapi Hangga sudah tahu banyak tentang aku. Sepertinya ini sedikit...tidak adil?
"Nama saya Hangga, bang. Hangga Tjokrokusumo lengkapnya. Asal saya dari Solo. Bulan depan usia saya delapan belas tahun. Usaha orang tua saya dagang batik. Tapi sebenarnya itu usaha milik kakek saya. Dan kebetulan kakek saya adalah ketua dewan komisaris di perusahaan batik itu."
"Dagang batik? Dagang batik bisa sekaya itu?" Bang Rino tercengang. Mungkin ingat perihal jam tangan yang dikenakan Hangga dan juga mobilnya.
"Abang gak denger Hangga tadi ngomong apa? Kakeknya punya pabrik batik di Solo. Dewan komisaris. Itu artinya dia ini keluarga pengusaha batik." Bang Syahrul menjelaskan.
"Ooh...begitu. Batik apa?"
Hangga menyebutkan nama merek batik terkenal yang bahkan memiliki showroom sendiri di daerah elit Jakarta. Dan merek batik kalangan atas.
"Jadi...itu merek batik, punya keluarga kamu?" Bang Timo manggut-manggut. Bang Timo yang security mall, tentu akrab dengan merek-merek ternama dari mulai fashion sampai sepatu. "Kalo gak salah tokonya ada ya satu di tempat abang kerja?"
"Iya, bang." Hangga mengangguk. "Semua papa yang pegang. Cuma di bawah pengawasan kakek."
"Abang tahu merek itu?" tanya Bang Rino.
"Tahulah. Itu yang harga kemeja batik lengan pendeknya aja sudah tiga ratus ribu lebih! Nggak mampulah kita buat beli. Beli di PGC aja yang lima puluh ribuan."
"Kalau abang semua mau, nanti saya bisa ambilkan dari toko. Gratis. Mau kemeja batik lengan panjang atau pendek?" Hangga menawarkan.
"Beneran?" Aku melihat mata Bang Timo langsung berbinar-binar mendengarnya. Ya ampun segirang itu mau dikasih baju batik bermerek. "Lengan panjang aja, ngga. Cariin yang warna cerah dan motifnya bagus ya. Lumayan buat kondangan. Jadi abang gak bingung lagi nyari baju kalau ada undangan. Kapan lagi bisa punya kemeja batik bermerek?"
"Kalau abang lengan pendek aja, ngga. Jangan lengan panjang, panas dipakenya." Bang Rino menimpali.
"Iya. Abang juga lengan pendek aja. Yang model slim fit tuh, ngga. Kayaknya bagus. Keren pasti." Bang Syahrul ikut-ikutan.
Aku langsung curiga jangan-jangan Hangga memang sengaja mau menyogok ketiga abangku dengan kemeja batik yang ia tawarkan. Buktinya acara interogasi berubah jadi acara permintaan motif dan warna batik. Juga ukuran segala.
"Kamu gimana, Al? Mau baju batik juga? Dress batik kayaknya cocok buat kamu. Kita motifnya sarimbitan ya, Al?"
Ohh...jadi aku kebagian juga. Kirain enggak.
![](https://img.wattpad.com/cover/330407204-288-k174578.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung cinta untuk Alyssa(end)
Teen Fiction"Kenapa tertawa?" tanya Hangga dengan mata menyipit. "Nggak. Elu lucu, muka Cina tapi ngomong Jawanya medok banget." "Kamu rasis?" "Nggak, nggak. Siapa bilang? Gue gak rasis kok, cuma lucu aja." Alyssa Sawitri, gadis rada tomboy bertemu dengan Hangg...