Senandung kedua puluh empat

255 59 4
                                    

Karena ternyata Randy bawa mobil, kami sepakat bakal pergi ke restoran pizza beriringan. Tapi baru mau masuk ke mobil Rere, seseorang memanggil namaku. Dari suaranya aku tahu siapa dia, cuma yang membuatku heran, kenapa dia tahu aku ada di sini?

"Hangga?"

"Mau ke mana?"

"Kok kamu bisa ada di sini?"

"Dari Bang Timo. Aku datang mau jemput kamu pulang."

"Aku pulang sama Rere, tapi mau makan pizza dulu."

"Sama mereka juga?" Hangga melirik Randy dan Bintang yang masih berdiri di dekat kami. Belum masuk ke dalam mobil Randy.

"Iya, Rere yang traktir."

Hangga terlihat mengernyitkan alisnya. "Kamu pulang sama aku, ayo."

"Tapi Rere mau traktir pizza. Dia udah janji mau traktir tiga loyang pizza buatku. Gak baek nolak rejeki kan?"

"Aku beliin kamu lima loyang pizza asal kamu pulang sama aku."

"Tapi... "

"Hangga, lu ikut aja. Gimana?" Rere tiba-tiba menyela pembicaraan kami, ia mungkin merasakan atmosfir panas di udara melihatku dan Hangga yang saling ngotot dengan keinginan masing-masing. Sedangkan Randy dan Bintang masih diam saja, cuma matanya yang tidak lepas melihat kami berdua.

"Aku udah kenyang. Tadi sudah makan sate."

"Tapi aku lapar, belum makan apa-apa. Kamu gak mau aku masuk angin kan gara-gara dari pagi belum makan?" Aku mencoba merayu Hangga, meski gak yakin rayuanku bakal mempan. Tapi demi tiga loyang pizza, harus diusahakan.

Lagipula aku gak enak kalau ninggalin Rere begitu saja, kalau aku pergi dengan Hangga takutnya Randy juga membatalkan niatnya ikut kami makan. Bagaimanapun, aku yang tadi mengajak dia makan bareng.

Hangga menghela napas, tapi kemudian mengangguk setuju. Dengan syarat aku ikut di mobilnya. Tidak ikut mobil Rere. Syarat yang menurutku tidak berat-berat amat.

"Baru seminggu ndak sama-sama terus, sudah nyari cowok baru?" Sindir Hangga saat kami masuk ke dalam mobilnya. "Bagaimana kalau aku tinggal lama?"

"Cari pacar baru lah, buat apa nungguin sesuatu yang gak pasti?"

Hangga terlihat shock mendengar ucapanku sampai mulutnya ternganga. "Sungguhan kamu punya niat seperti itu?"

"Aku realistis, bukan pemimpi."

"Al." Hangga tiba-tiba memegang daguku. Memaksaku agar menghadapnya, ia menatapku tajam dan lama. "Aku mau tanya sama kamu."

"Tanya apa?" Aku mencoba melepaskan cekalan tangannya di daguku, tapi cengkramannya kuat sekali.

"Jika suatu hari nanti aku pergi, katakanlah aku pergi ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah di sana. Apa kamu bersedia menungguku?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Hangga, ternyata firasatku benar, ternyata pembicaraan Hangga dan Ayahnya itu sungguh-sungguh. Hangga akan pergi setelah kelulusan. Mungkin ah bukan hanya mungkin, tapi sudah pasti. Hangga akan melanjutkan kuliah di luar negeri. Berapa lama ia akan pergi? Setahun? Dua tahun? Pasti lebih lama dari itu. Dan selama itu apa aku sanggup berpisah dengannya? Apa aku sanggup menunggunya?

Selama ini, aku sering melihat pasangan yang melakukan LDR selalu berakhir dengan perpisahan. Lihat saja Mbak Irma, salah satu tetanggaku yang punya pacar kuliah di Surabaya. Padahal cuma beda kota, tapi karena kesibukan dan jarang bertemu. Akhirnya hubungan yang terjalin lama berakhir di tengah jalan. Alasan klise, masing-masing terpikat dengan orang baru. Punya pacar masing-masing.

Atau Mbak Sunarti, yang suaminya pelayaran. Kerja di Kapal Pesiar dan berbulan-bulan gak pulang. Mereka memang gak sampai bercerai, tapi siapa yang gak tahu kalau tiap malam perempuan itu membawa laki-laki yang berbeda ke rumah? Tidak tahu juga bagaimana kelakuan suaminya juga di luaran sana?

Lalu bagaimana dengan aku dan Hangga sendiri? Kami baru beberapa bulan kenal dekat lalu berujung pacaran. Tidak ada ikatan apa-apa. Tidak seperti Mbak Irma dan mantan pacarnya yang sudah lama menjalin cinta, tidak juga seperti Mbak Sunarti yang memiliki ikatan pernikahan. Mereka berdua saja tidak sanggup menjalani hubungan jarak jauh, berpisah berbulan-bulan.

Bagaimana juga nasibnya dengan aku dan Hangga? Kami akan dipisahkan oleh negara yang berbeda, mungkin juga benua yang berbeda. Bukan hanya bulan, tapi hitungan tahun yang akan memisahkan kami.

Bisakah kami berdua mempertahankan hubungan yang rapuh ini? Bisakah aku setia? Bisakah Hangga juga setia?

Di luar negeri sana, dia akan banyak bertemu gadis lain yang tentu saja jauh lebih cantik dan menarik dari aku. Bisakah hatinya tetap terjaga hanya untukku?

Tidak bisa dipungkiri, hati manusia adalah sesuatu yang bisa berubah-ubah sesuai keadaan. Jika Hangga bertemu perempuan lain yang lebih menarik hatinya, ada kemungkinan ia akan berpaling. Apalagi ia tampan dan juga ... kaya. Jika saat itu terjadi, Hangga berpaling dariku. Sanggupkah aku menanggung segalanya?

"Al, kamu tidak menjawab pertanyaanku." Rupanya kediamanku diartikan lain oleh Hangga. Padahal aku sedang berkecamuk dengan pikiranku sendiri. "Apa kamu bakal setia menunggu aku kalau aku pergi lama meninggalkanmu?"

"Itu pertanyaan yang sama juga yang kepengin aku tanyakan sama kamu."

"Tentu, aku bakal setia menjaga hubungan kita. Aku bakal setia sama kamu dan bakal menunggu hari di mana kita bakal bersatu lagi." Tanpa aku duga Hangga menjawab tanpa ragu. Sesuatu yang aku bahkan ragu untuk mengatakannya.

"Oh, ya? Kamu bisa ngomong begitu saat ini, tapi belum tentu bakal tetap sama saat kamu sudah menjalani hubungan jarak jauh. Lelaki itu gak ada yang bisa dipercaya!"

"Bagaimana kamu bisa ngomong gitu kalau kamu punya tiga abang cowok? Apa di matamu, mereka juga ndak bisa dipercaya?"

"Mereka beda!"

"Apa bedanya? Mereka cowok, aku juga. Lalu di mana perbedaannya?"

"Karena aku sudah lama kenal mereka dengan baik! Karena sudah seumur hidup aku habiskan hidup bersama mereka!"

"Jadi aku harus tinggal seumur hidup aku denganmu, agar kamu percaya sama aku? Begitu?" Hangga menatapku dengan sinar mata yang tidak dapat kuartikan. Mungkin kecewa, marah atau ... merasa frustasi dengan ucapanku?

Aku cepat memalingkan muka tidak ingin melihat ekspresi seperti apa yang kini terlihat di wajah tampan nan kalem itu. Mungkin, apa yang kukatakan padanya begitu jahat. Hingga hanya ada gurat kekecewaan di wajah Hangga.

"Ternyata selama ini, cuma aku yang menganggap serius hubungan kita ... "

Aku bisa merasakan nada getir dalam suaranya, yang anehnya membuat jantungku serasa diremas sembilu. Rasanya sakit. Tapi aku tak ingin mengatakan apa-apa lagi. Aku hanya ingin melindungi diriku, meski terkesan egois, meski terkesan jahat. Tapi sebelum cinta ini mengakar dengan kuat, aku harus bisa mencabutnya. Agar tidak semakin terluka.

Senandung cinta untuk Alyssa(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang