4. BERBEDA
***
Mora dan Vania kini sedang berada di kamar Lala. Mereka berdua datang kerumah Lala, dengan menenteng beberapa kantong plastik yang berisi buah-buahan dan makanan ringan. Sudah lama tak datang kerumah Lala membuat keduanya rindu, apalagi dengan Sarwendah. Mereka sudah ada dari satu jam yang lalu, walau jati sudah gelap, mereka tak kunjung pulang.
“LAIN KALI BAWAIN YANG BANYAK, JANGAN DIKIT-DIKIT!” omel Lala, lalu menyuap cemilan yang bernama taro.
Mora melotot. “Emang gabisa terima kasih sama temen nih anak. Udah mending gue bawain cemilan, dari pada gue bawain bangkai tikus, yakali!”
“Gapapa, kok. Gue suapin ke elo, biar Lo ngerasain duluan. Kalo Lo muntah, terus meninggoi. Kita nggak jadi mau nyobainnya.” Lala berucap enteng.
“Terserah Lo, deh. Lala selalu benar, kita orang slalu salah diem aja. Jangan ngelawan,” sahut Mora, sabar.
Vania merebahkan tubuhnya di atas kasur, setelah membantu mengemasi buah-buahan di dapur. Sarwendah sedang menyirami bunga-bunganya, maka dari itu Vania yang memasukan buah-buahan tersebut kedalam frizer.
“Capek banget, mana Mora berat banget lagi. Boncengin dia, kayak lagi boncengin tiga orang,” keluh Vania, membuat Mora hampir tersedak. Lala hanya menahan tawa mendengarnya.
“Berat dari mana-nya njir. Orang gue lebih ramping daripada triplek gini. Malah Lo bilangin berat!” Mora kini menggeleng tak percaya, sedangkan Vania hanya cengengesan. Bercanda, namun Mora sangat kaget. Sangat tidak rela jika berat badannya kian bertambah.
“Sekali lagi Lo ngatain gue berat, gue gibeng Lo!”
Vania bangun dari posisinya yang berbaring. “SANTAI NJIR! Orang gue cuma bercanda, serius aja Lo!”
“Gabisa. Gue sensitif kalo soal berat badan! Takut gabisa jadi idamannya Bastian! Walaupun gue nggak secantik fans dia, minimal nggak burik-burik amat, deh!”
“Yaa setidaknya gue nggak merasa insecure, ngeliat fans-nya dia yang lebih glowing daripada gue!” lanjut Mora.
“Mendingan jadi diri sendiri Lo aja, Mora.” ucapan Lala membuat kedua perempuan itu menoleh kepada Lala saat ini. ”Jangan mau ngerubah diri Lo cuma gara-gara, pengen jadi sosok idaman semua orang. Cintai diri Lo apa adanya, Mor. Karena kalo dia bisa nerima diri Lo apa adanya, berarti dia tulus.”
“Mau cari yang sempurna itu nggak akan ada, kita cuma perlu cari orang yang bisa nerima kita apa adanya!”
Mora menangkup pipi gembul Lala, membuat perempuan itu hanya bisa pasrah, dengan perilaku Mora yang agak ada sedeng-sedengnya.
“OMAIGATT!! SERIOUSLY?” Mora memandang Lala dengan tatapan tak percaya. “Ini beneran Lo, La? Ini beneran Larisa Monica?!”
“Iya ini gue. Emangnya kenapa?” tanya Lala, menepikan tangan Mora yang membuat pipinya melewer.
“Kepala Lo habis ketabrak planet apaan, La?!” tanya Mora histeris.
“Di sini keknya ada setan, deh. Gue ngerasa ini bukan Lala, soalnya Lala yang kita kenal nggak sebijak ini. Dia malahan agak ada sedeng-sedengnya!" ungkap Mora, membuat Lala ingin sekali menerjang Mora ke rawa-rawa di mana buaya bersarang.
“MINIMAL JANGAN JUJUR, MOR!” sahut Vania yang sudah tertawa kencang. “Tapi seriusan. Yang tadi beneran Lo kan, La? Ntar ada setan' yang nyamar mirip elo lagi, kan ntar plot twist-nya nggak lucu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
PRADIKTA
Teen FictionHALO SEMUANYA!! SELAMAT MEMBACA CERITA TENTANG PRADIKTA & LALA. Dia Pradikta Sastra Ajuar. Satu nama yang begitu meluas diberbagai sekolah, termasuk SMA Naswara. Siapa yang tak mengenalnya, Pradikta Sastra Ajuar, ketua geng motor dari Gavior. Memili...