3. SIMBIOSIS MUTUALISME
"Aku sama kamu itu ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Aku beruntung punya kamu, dan kamu beruntung punya aku."***
Cerita ini dibuat, dengan ide, dan pikiran sendiri. Jika ada kesamaan kata, tokoh, dan latar belakangnya, mohon maaf sebesar-besarnya. Cuma kebetulan, selebihnya author gapeduli, see you next time.
***
Disebuah kamar yang tak terlalu mewah, dengan ranjang dan Meja belajar yang menghadap kepada arah jendela. Suasananya nyaman, dengan beberapa tanaman bunga, dan bunga rambat yang menjalar mengelilingi jendela kamarnya, dari arah luar. Sinar matahari, masuk dibalik celah-celah jendela, yang gordennya terbuka.
Lala tengah berkutat dengan sebuah buku paketan, yang tebalnya lebih dari 200 halaman. Perempuan itu membaca buku, dengan posisi yang berada di atas ranjang. Ia memulai belajar dari satu jam yang lalu, hingga hari menjelang sore. Bahkan, laptop kesayangan, tempat ia menonton para Drakor, kini terlentang indah di atas meja belajarnya, sama sekali belum ia sentuh sedari tadi.
Hari libur, Lala memanfaatkannya dengan baik. Memulai pelajaran hal baru, yaitu belajar. Hal yang sangat langka, Lala lakukan. Fisika, mata pelajaran yang sangat-sangat tidak ia sukai. Yang mati-matian selalu Lala hindari, kini mati-matian pula harus ia pelajari.
“Capek banget. Baru aja dua bab, kok otak gue masih lemot ya. Berasa ngga ada yang masuk,” keluh Lala. Seraya membaringkan tubuhnya di atas kasur.
“Ternyata gini belajar, secapek ini. Hidup lagi capek-capeknya, malah di suruh belajar. Auto teler.”
“Tapi demi Dikta. Gue rela bacain buku segini tebalnya. Tapi, kalo dia masih nolak gue juga. Gue gatau lagi mau ngomong apa!”
Lala merentangkan tangannya. Lala begitu letih, matanya terasa lelah akibat membaca buku yang sangat tebal. Matanya beberapa kali ingin terpejam, namun ia berusaha untuk melawannya, agar tidak tertidur. Lala heran, kenapa ketika belajar ia terus saja mengantuk, tetapi jika membaca novel, mau begadang sampe subuh pun, ia tidak merasakan ngantuk.
“Pas belajar kerasa banget ngantuk, giliran baca novel kenapa mata gue seger banget!”
“Biasanya hari-hari gini, Gue pasti lagi enak-enaknya nontonin drakor. Tapi demi Dikta, gue rela ninggalin hoby gue.”
”Gue cuma bisa berharap, semoga aja gue berhasil. Ragu, tapi mau gimana lagi. Cuma ini satu-satunya jalan yang harus gue lewatin, nggak ada jalan lain lagi.” Lala berkata dengan sedikit sedih. Ia menelungkup buku paketan ke-wajahnya. Mengembuskan nafas lelah. Lala seakan-akan menutupi rasa lelahnya dari dunia.
Lala menyikap buku yang menutupi wajahnya, menyembulkan wajahnya diantara lebaran buku itu.
“Kalo gue nggak bisa pake cara ini. Mungkin gue bisa, pakai dengan cara sepertiga malam.”
Sebuah ketukan mengejutkan Lala, ia bangkit, namun tak bergerak dari posisi duduknya. Pintu kamarnya tak di kunci, namun seseorang yang ada diluar sana tak mengetahuinya.
“BUKA AJA, OMA! PINTUNYA NGGAK LALA KUNCI!” teriak Lala dari dalam.
Ia tersenyum ketika sang Oma sudah masuk, dengan nampan yang berada digenggamannya. Sarwendah, atau bisa dipanggil Oma Wen, oleh para tetangga dekat. Dia adalah Oma Lala, yang merawat Lala dari kecil, sampai kedua orang tua Lala bercerai.
“Kamu ngapain?" tanyanya. "Lagi belajar atau nonton drama-drama, apa itu yang ada kis-kisnya.”
“E-enggak, Oma. Lala lagi belajar ini, lagian Oma ada-ada aja. Mana ada kis-kisnya!” Lala tersenyum malu, kepada Sarwendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRADIKTA
Roman pour AdolescentsHALO SEMUANYA!! SELAMAT MEMBACA CERITA TENTANG PRADIKTA & LALA. Dia Pradikta Sastra Ajuar. Satu nama yang begitu meluas diberbagai sekolah, termasuk SMA Naswara. Siapa yang tak mengenalnya, Pradikta Sastra Ajuar, ketua geng motor dari Gavior. Memili...