Lala mencoret daftar kalender yang berada di atas meja belajarnya. Rasa sakit masih membekas dihatinya, usai kejadian tadi siang, di mana Dikta yang menolaknya dengan tatapan serius. Entah kenapa, sekian banyak kalimat yang Dikta lontarkan, kalimat yang tadi sangatlah membekas di hati Lala.
Namun, itu tak membuat Lala akan menyerah begitu saja. Ia masih terus berusaha dan berjuang, sampah di tanggal 25 selesai. Sisa 25 hari lagi, sekolah mereka akan mengadakan ulangan semester. Dan di sana adalah penentu, dan takdir keberuntungan Lala atau tidak. Ulangan Fisika, adalah yang di nanti-nanti oleh Lala.
Ia berdoa, untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ia akan berusaha, agar bisa menjadi pendamping dari Pradikta Sastra Ajuar. Sangatlah mustahil, tapi siapa tau takdir. Jika mereka memang berjodoh, pasti tidak akan kemana-mana.
"Udah nggak lama lagi, tapi belum ada kemajuan sedikitpun. Masa ulangan udah dapat nilai tertinggi, tapi dianya masih cuek-cuek aja. Sama aja dong, kalo gituuu!"
Lala bergumam, lalu memandang luar jendela dengan hembusan nafas gusar dan gundah. Hatinya dihantu oleh beberapa pikiran sekarang. Lala kini benar-benar bingung.
"Pengen ngerasain pacaran sama Dikta, itu udah cita-cita yang susah, salah langkah aja hancur semuanya!"
"Boro-boro mau mencahin rumus, mencahin teori perasaan Dikta aja belum bisa. Gimana coba?- ARGH KESELLLLL!"
"Pengen dekat sama Dikta, tapi caranya gimana? baru dideketin satu langkah aja, mundurnya udah tiga puluh kilo!"
"Mau dikirim chat, malah nggak dibales, nasib banget gue ya?" Lala menelungkupkan wajahnya di kedua lipatan tangannya di atas meja belajar.
BUGH! BUGH! BUGH!
"TOLONGGGG! DIKTA LO KENAPA NGGAK BISA LARI DARI PIKIRAN GUEE, SIHHH?" kesal Lala, dengan tangan yang menggebrak meja.
"Bisa nggak sih, satu hari aja nggak bikin gue keinget sama Lo terus. Gue capek Dikta, Lo Mulu yang nempel di saraf-saraf gue. Sekali-kali kek, rumus Fisika, supaya gue pinter dan pantes jadi pendamping hidup Lo!" gumam Lala dengan sedikit rengekan.
"Tuhannnnn, tolong beri perasaan ke Dikta, supaya bisa balas perasaan LALAAAAAA, AMINNN!"
***
Dikta tergesa-gesa berlari-larian, lalu masuk ke dalam salah-satu lif yang berada di kediamannya. Ia berhenti tepat di depan kamar, yang menjadi tempat istirahat oleh sang Nenek. Kini ia melangkah dengab tergesa-gesa ke arah tempat tidur nek Ruma, yang sudah ada dokter di sana.
"Nenek kenapa, Paman?" tanya Dikta.
"Nenek kenapa bisa lemah kayak gini, apa nenek salah makan, atau salah minum sesuatu? yang bisa bikin dia kek gini, apa penyebab nenek kayak gini Paman?"
Paman Dikta, yang biasa disebut Levi, oleh keluarga besar Ajuar. Salah-satu keluarga Dikta yang meneruskan cita-cita menjadi dokter, dan kini menangani Nek Ruma yang tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat.
"Sabar, Dikta. Satu persatu, Paman nggak bisa jawab kalo kamu nanya beruntun seperti rel begitu," kelakar Levi dengan kekehan.
"Jadi begini, kondisi Nenek sudah mulai membaik dan stabil. Tapi, nenek kamu tampaknya banyak pikiran, makannya penyakitnya kambuh lagi," jelas Levi. "Sebaiknya setelah sadar, kamu lebih banyak berkomunikasi dengan nenek kamu, dan berusaha untuk membuat dia bercerita, agar tidak memikirkan hal itu sendirian."
Dikta mengangguk. "Makasih, Paman. Dikta bakalan berusaha, ini juga demi kesehatan nenek."
"Kalau begitu paman pamit dulu. Itu obatnya sudah ada diatas meja, dan kalo kurang sudah ada resepnya. Kamu lansung saja beli obat itu, jika obat yang paman beri sudah habis, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRADIKTA
Teen FictionHALO SEMUANYA!! SELAMAT MEMBACA CERITA TENTANG PRADIKTA & LALA. Dia Pradikta Sastra Ajuar. Satu nama yang begitu meluas diberbagai sekolah, termasuk SMA Naswara. Siapa yang tak mengenalnya, Pradikta Sastra Ajuar, ketua geng motor dari Gavior. Memili...