22. SHARING SAMA ALDEN

143 3 0
                                    

Leon memandang Lala dengan mata yang sedikit menyipit. Kini mereka sudah berkumpul di ruang keluarga, bahkan Lala bisa merasakan rasa kehangatan keluarga di sana. Walau itu hanya halusinasi Lala semata.

"Pantasan saya merasa tidak asing dengan kamu. Kamu itu salah satu pegawai yang bekerja di cafe saya, bukan?" Leon berkata mendadak, membuat Lani juga ikut menoleh kearahnya.

Lala mengangguk. "Iya, pak. Saya bekerja di cafe milik bapak. Dan saya juga belum sempat ngucapin rasa terima kasih saya buat bapak, karena berkat bapak, saya bisa terima gaji yang adil dari sebelumnya."

Memang benar, Lala sempat merasa jika gajinya sedikit tidak adil, dari para pekerja lainnya. Gajinya itu agak dikurangi oleh manager, yang sekarang sudah tak lagi bekerja di sana karena dipecat oleh Leon.

"Saya yang harusnya berterima kasih sama kamu, nak. Berkat kamu, saya bisa mengetahui jika ada kecurangan dari manager kalian," ujar Leon tersenyum simpul. "Saya juga kagum sama kamu, ketika mendapatkan gaji yang tidak adil. Kamu masih mau bekerja di cafe, dan menjalaninya dengan ikhlas. Saya bangga, bisa punya pegawai seperti kamu."

"Jadi selama ini kamu kerja di cafe punya bokap gue, La?" tanya Karel, seraya memandang Lala yang hanya mengangguk.

"Kamu kenapa kerja, La? Kamu lagi ngekost atau gimana disini, kamu anak rantau ya?" tanya Lani, yang diangguki oleh Leon.

Lala menunduk sesaat. Ia berusaha tersenyum. "Lala asli orang sini kok, Ma. Lagian Lala juga masih punya Oma, dan Lala tinggal berdua bareng Oma. Lala kerja cuma buat menuhin kebutuhan sehari-hari, supaya nggak terlalu membebankan Oma, yang udah Lansia."

"Mama jadi kagum sama kamu. Jaman sekarang, jarang-jarang banget remaja, apalagi anak sekolahan kayak kamu ini kerja, demi menuhin kebutuhan sehari-hari," kata Lani, membuat Lala hanya menanggapinya dengan senyuman.

"Biasanya'kan cuma ngabisin uang orang tua doang, ya'kan Ma, Pa?" Karel melirik kearah kedua orang tuanya.

Lani mengangguk. "Iya. Kamu salah satu contohnya, Lio."

Karel tersedak ludahnya sendiri, saat mendengar perkataan Lani. Mamanya itu sangat membuat Mental Karel terganggu, seperti sehabis ini Karel harus pergi ke psikolog.

"Mama kalo ngomong suka bener," timpal Leon, dengan tertawa jahat.

"Iya, dong. Mama gitu loh!"

Dibalik tawa para orang-orang di sana, Lala terdiam dengan segala pikiran yang berkecamuk. Ia hanya menundukkan kepalanya.

"Kenapa gue ngerasain hangatnya keluarga, di keluarga orang lain?" batinnya merasa teriris.

"Kapan gue punya keluarga lengkap?"

"Kenapa mereka tega ninggalin gue sendirian sama Oma?"

"Merek-"

"Lala?"

"La ... "

"Lala, hey!"

Lala masih saja melamun dengan segala pikirannya. Karel menepuk kedua tangannya di depan wajah Lala, membuat gadis itu lansung tersadar, dan menoleh kearahnya dengan linglung.

"I-iya, kenapa?" kagetnya.

"Lo yang kenapa. Lo kenapa malah ngelamun sih? Gue manggil-manggil dari tadi, Lo nggak denger! Mikirin apa'si?" Karel menatap Lala seolah jika ia meminta jawaban.

"Iya. Mikirin apa sih, sayang?" tanya Lani, duduk di dekat Lala dengan tangan mengelus surai hitam Lala yang tergerai indah.

"Enggak. A-aku nggak papa kok."

PRADIKTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang