Hari sudah sangat larut. Jarum jam menunjukkan angka satu malam. Namun, di dalam kamar yang remang-remang, seorang wanita bernama Ara masih terus menangis. Tangisnya menggema, mencerminkan kehancuran hati dan kekecewaan. Baru saja dia menyadari bahwa pria yang dicintainya tidak percaya bahwa dia mengandung anaknya dan lebih memilih wanita lain.
Suasana kamarnya sunyi dan suram, dipenuhi oleh rintihan pilu wanita itu. Dia merasa dikhianati, tidak dipercayai, dan ditinggalkan oleh orang yang begitu dia cintai. Sedih dan kecewa menjerat hatinya seperti belenggu yang tak terlepas.
Tiba-tiba, pintu kamar diketuk pelan dari luar. Vera, sahabat Ara, berdiri tepat di balik pintu. "Ara...." Vera memanggil nama sahabatnya dengan lembut.
Mendengar namanya dipanggil, Ara dengan langkah terseok mencoba berjalan ke arah pintu. Setelah beberapa saat yang terasa seperti usaha yang berat, Ara membuka pintu kamarnya. Wajahnya terlihat pucat, mata yang sembab dan bengkak, hidung yang memerah akibat tangisan yang tak terbendung. Rambutnya yang sebelumnya teratur kini terlihat kusut dan berantakan. Wajahnya mencerminkan kelelahan yang mendalam.
Vera masih memegang ingatan ketika Ara keluar dari gedung apartemen dengan ekspresi hampa. Wanita itu memasuki mobil tanpa berkata apa-apa, matanya yang kosong dan sembab mencerminkan kehancuran batin yang dialaminya.
Di dalam mobil, Ara menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Dia merinci kekecewaan dan rasa sakit hati yang memenuhi setiap detiknya di apartemen Aksa. Vera mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan betapa beratnya beban emosional yang dipikul oleh sahabatnya.
Sesampainya di apartemen, Ara langsung mengurung diri di dalam kamar dan membiarkan air mata mengalir tanpa henti. Vera bisa merasakan betapa dalamnya kesedihan yang dirasakan oleh Ara, dan dia ingin memberikan dukungan sebanyak mungkin.
"Peluk aku jika itu sangat menyakitkan, Ara," ucap Vera, merentangkan tangannya sebagai tanda ingin memberikan pelukan dan kenyamanan. Ara memutuskan untuk memeluk Vera erat, mencari kehangatan dan dukungan dari sahabatnya. Vera mengelus rambut Ara dengan lembut, mencoba menenangkan sahabatnya itu.
"Semuanya akan baik-baik saja. Aku di sini untukmu," kata Vera sambil memberikan dukungan dan kasih sayang kepada sahabatnya yang sedang dilanda kesedihan.
Setelah Ara berhenti menangis, Vera mengajaknya untuk berbicara di dalam kamar. Mereka duduk di samping ranjang, suasana kamar yang tenang memberikan sedikit kenyamanan bagi Ara.
"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Vera dengan suara lembut, mencoba memberikan Ara kesempatan untuk berbagi dan merencanakan langkah selanjutnya.
Ara menghela napas, mengisyaratkan bahwa pertanyaan itu menyentuh titik yang cukup dalam dalam dirinya. "Sebenarnya, aku belum tahu pasti. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin aku akan membesarkannya sendiri," jawab Ara dengan suara lembut, wajahnya masih mencerminkan rasa kebingungan dan kehilangan.
"Kau tahu, membesarkan anak seorang diri tidak semudah itu. Aku tidak tahu apakah ini yang terbaik atau tidak, tapi kupikir aku punya rencana yang lebih bagus untukmu dan bayimu," ujar Vera dengan bijak, mencoba memberikan Ara alternatif yang lebih terencana.
"Apa?" Ara menatap Vera dengan rasa penasaran dan harapan dalam matanya.
Vera kemudian menjelaskan dengan rinci rencana yang telah terpikirkan untuk membantu Ara menjalani kehidupan ke depannya. Beberapa kali Ara merasa ragu dan berkali-kali bernegosiasi dengan Vera setelah mendengar setiap detail rencana tersebut.
"Bagaimana?" tanya Vera, mencari konfirmasi dari Ara setelah menjelaskan rencana tersebut.
Setelah memikirkan beberapa pertimbangan yang matang, Ara tersenyum tipis dan mengangguk. "Baiklah, itu terdengar cukup baik."

KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence [END]
Romantizm[A ROMANCE STORY] "A-aku ke sini ingin memberitahumu jika saat ini aku sedang hamil. Dan sekarang kita akan memiliki anak seperti impianmu dulu. Kau pasti bahagia bukan?" "Kau yakin itu anakku?" "Maksudmu?" "Waahhh, hubungan kalian sudah sejauh itu...