LAXITY | 18

360 81 4
                                    

****

Btw, banyak yang bilang/nanya.

"Ini alurnya lambat ya?"

"Kok Aidan sama Rea gk ada kemajuan."

"Ini kapan deketnya?"

dll.

Aku mau jelasin sedikit ke kalian. Kalo dari awal aku bikin cerita ini, aku udah nentuin kalo alurnya emang mau lambat.

Kenapa lambat?

Karena aku pengen nyoba hal baru. Kalian yang mungkin pernah baca story aku yang lain pasti tau dong alurnya kebanyakan cepat, bahkan menurut aku terburu-buru. Nah sekarang, di cerita ini dengan alternatif universe nya Indonesia-Jakarta Selatan. Aku pengen bikin suatu hal yang beda.

Selain itu juga aku pengen tau, kalian bakalan terus stay disini dan nunggu kelanjutan kisah Aidan-Rea, atau bakalan ninggalin cerita ini. Karena setelah belasan part, banyak yang selalu nanyain hal yang sama.

Aku gak ngelarang hal itu, karna mungkin dari kalian emang pengen cerita yang dimana romansa antara pemeran utamanya itu cepet. Tapi kecualikan di cerita ini ya, mungkin aja bakalan ada tarik-ulurnya. Namun seiring waktu, pasti ada aja hal romantisnya.

Aku janji itu.

Terimakasih.

****

Tak banyak yang bisa Aidan harapkan dari dunia ini. Selain ingin menjadi sosok yang lebih baik ke depannya, Aidan juga hanya ingin merasa jika seluruh hal yang dia inginkan bisa dengan cepat di dapatkan. Namun sekali lagi, tak semua yang di inginkan bisa terkabul begitu mudah.

Apalagi sosok gadis tersebut. Aidan menatap Rea yang masih bergelut pada bola basket. Tampak tak menyadari kehadiran Aidan di belakangnya. Lelaki itu menipiskan bibir. Sekali lagi merasa ragu untuk sekadar mendekat. Meski koridor tampak sepi, Aidan merasa jika banyak pasang mata yang melihat dirinya. Menimbulkan rasa tak percaya diri muncul dan membuat Aidan selalu mundur dalam melangkah.

Tapi mungkin dewi Fortuna sedang berpihak pada Aidan. Rea membalikkan badan dan membiarkan bola basket tersebut memantul pelan ke tanah, lalu berguling ke arah tribun pendek dan berhenti disana. Gadis itu menatap Aidan dengan sorot biasa. Tak ada kesan terganggu.

Aidan tersenyum kecil. Berusaha sekuat mungkin untuk tidak memperlihatkan kegugupannya pada gadis tersebut. "Gue gak tau kalo lo suka basket." Aidan bergumam. Mulai melangkah mendekat pada Rea yang kini menghela nafas seraya menatap ring basket.

"Basket gak buruk." sahut Rea.

Aidan mengangguk. "Dulu gue suka banget main basket." Dia menerawang. "Rasanya basket itu sebagian dari hidup gue."

Rea mengerjap. Jika di ingatkan kembali pada pertandingan basket Raja serta Aidan, lelaki di sampingnya ini memang memiliki bakat dalam bidang basket yang perlu di akui kehebatannya. Karena sejak lama, Raja tak pernah terkalahkan oleh siapapun.

"Gak percaya?"

Rea menoleh. Matanya menatap lurus mata teduh Aidan yang menyorot penuh padanya. Gadis itu mengkerut, bingung akan menjawab apa.

Aidan tersenyum. "Basket itu bukan sekedar olahraga." jelasnya. "Menurut gue, basket juga seni indah yang perlu di lestarikan sepanjang masa. Karena di dalam basket, banyak hal baru yang bisa di dapet."

Rea terdiam.

"Gue rasa lo juga sepemikiran sama gue." 

Rea menipiskan bibir. Hanya menatap gerak-gerik Aidan yang melangkah menuju bola basket yang berhenti di tembok tribun. Lelaki itu membawa bola basket dengan men-dribble nya. Tangan kanan Aidan tampak menonjolkan urat tangan yang kentara jelas. Sekali lagi ... Rea baru melihat itu. Penampakkan seperti itu terkesan attractive.

LAXITY [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang