LAXITY | 34

381 79 29
                                    

***

"Hoamm~"

Aidan merengangkan otot tubuhnya. Sinar matahari terik membangunkan dirinya dari tidur nyenyak yang hanya beralas oleh karpet tipis dan juga kain yang menutupi sebatas perutnya. Lelaki itu mengusap wajah, kemudian menoleh ke kanan dan tersentak kecil saat melihat Rea tengah berdiri tak jauh dari dirinya. Gadis itu tampak cantik dengan wajah baru bangun tidur, apalagi jaket kebesaran dan tebal tersebut menambah kesan menggemaskan padanya.

Aidan tersenyum kecil. "Gue kira lo belum bangun."

Rea mendekat. Tangannya menyodorkan gelas plastik yang berasap. "Lo perlu teh."

Aidan menerimanya. Telapak tangannya langsung merasakan kehangatan dari gelas tersebut. Dia menghirup uap yang muncul, dan meneguknya sekali dengan perlahan. "Teh doang belum bisa bikin tubuh gue anget."

Rea mengangkat alis. Ia membalikkan badan dan menghadap ke depan, ke barisan tenda merah yang berjajar dan di selimuti oleh embun pagi. "Terus lo perlu apa lagi?" tanyanya.

Aidan terkekeh kecil. Dia memposisikan diri seperti gadis di sampingnya. "Mungkin ... pelukan selamat pagi dari gadis cantik di samping gue ini?"

Rea menoleh. Ia terdiam. Tapi Aidan tahu jika gadis itu sedang berpikir keras, antara melakukan apa yang Aidan ucapkan, atau malah pergi meninggalkan dirinya.

"Kalo itu bisa bikin lo anget—" Rea mendekatkan diri. Lalu tanpa terduga ia memeluk Aidan erat dan menyandarkan wajahnya pada dada bidang lelaki itu. "—gue bakalan ngabulin itu."

Aidan mengerjap. Sekali lagi hatinya berdetak cepat untuk gadis tersebut. Rea ... dia merasa jika gadis cantik ini telah sepenuhnya menaruh segala perhatian padanya. Bahkan bolehkah Aidan berharap jika hari ini Rea telah mencintainya?

Aidan menyambut pelukan itu, dengan salah satu tangan masih memegang gelas. Dia mengusap lembut rambut Rea yang terurai dan mengecup puncak kepalanya. Dia menghela nafas lega. Aidan merasa jika dia sudah menemukan ke rumah nyaman dalam gadis tersebut. Rea bukan hanya sosok gadis yang dia sukai, tapi juga kelemahan, dan juga segala kekuatan yang membuatnya masih bertahan sampai saat ini. 

"Aidan, gue rasa pelukan ala teletubis ini udahan deh. Anak lain mulai pada bangun." Rea bersuara. Suaranya agak tertelan karena bisingnya kicauan burung dan juga cicitan para tupai di pohon pinus.

Aidan tersenyum lebar. Dia menguraikan pelukannya dan mencubit hidung gadis itu. "Lo tau? Gue ngerasa kalo sekarang lo mulai nerima gue, Re."

Rea mengangkat bahu. "Mungkin."

"Berita baik?"

"Menurut lo?"

"Gue jadi pengen cium lo."

"Aidan, jangan macem-macem."

"Oke, ampun."

Aidan terkekeh melihat wajah kesal dari Rea. Gadis itu melangkah pergi dan meninggalkan Aidan yang tak terima dan ikut menyusul. Keduanya bercanda saat ingin mencapai area dapur, ada banyak anak pramuka dan siswa lain yang sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk para anggota kelompoknya. Bahkan sudah ada Vina dan Hanip disana. Rea dan Aidan ikut membantu, meski sebenarnya hanya mengacau karena Aidan tak sengaja menendang galon air yang isinya tinggal setengah.

.
.
.

Ghani menghela nafas. Dia baru saja bangun karena bisingnya suara ribut yang sepertinya berasal dari dapur. Lelaki itu menyisir rambutnya memakai jemari, dan menoleh ke samping. Lalu dia menemukan sosok Reva yang tengah memakai jaket tebal, kemudian gadis tersebut mengikat tinggi rambut panjangnya.

LAXITY [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang