JAKARTA 1960'S

1.8K 144 3
                                    

Sudah 15 tahun sejak negara ini lepas dari segala cekalan penjajahan. Hiruk pikuk perdagangan dan segala urusan rakyat terasa mulai membaik. Banyak pemuda yang tumbuh dengan layak dan bahagia pula tidak terbayang dari kelamnya masa perang. Berbeda dengan Mahesa Diyaksa, semua orang mengenalnya sebagai tuan muda ramah yang cukup disegani parah bandit kota karna keberaniannya. Mahesa tumbuh di akhir-akhir masa penjajahan sehingga ia memiliki pemikiran yang bisa dikatakan lebih jauh dan tinggi.

Mahesa dikenal pendiam, meskipun ia sangat sering bersosialisasi dalam hal perdagangan. Keluarga Diyaksa cukup tertutup sejak kematian ayah Mahesa pada tahun 1943 banyak yang berspekulasi ibu Mahesa sengaja melakukan itu untuk melindungi keluarga mereka dari serangan apapun di akhir masa kelam ibukota. Mahesa tumbuh dengan baik, dan ia terkenal cukup tampan untuk laki-laki seusianya.

 Mahesa tumbuh dengan baik, dan ia terkenal cukup tampan untuk laki-laki seusianya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mahesa, 24 y.o


"Mahes!" Pria jangkung itu berbalik dan menemukan pria manis dengan rambut ikal itu mendekatinya, Mahesa hanya memberikan senyum simpul setidaknya untuk menghargai pemuda didepannya ini.

"Lama tidak berjumpa Ryu, kurasa kau pasti ada urusan jika datang kesini." Si manis hanya tersenyum dan mengulurkan sebuah undangan yang bisa Mahesa baca dengan jelas nama yang terpampang disana.

"Aku cukup lama tidak menghubungimu Mahesa, aku dan Hendra akan menikah bulan depan. Maaf..."

Harusnya Mahesa lega mantan kekasihnya itu sudah memiliki pengganti dan akan segera menikah, tapi kenapa hatinya masih cukup sakit untuk menerima kenyataan bahwa ia masih sendirian dalam kenangan dan keterpurukannya.

"Aku akan datang ryu, terimakasih sudah mengundangku. Tidak perlu minta maaf, aku baik-baik saja sungguh..."

Keduanya mengobrol cukup lama sebelum Ryu harus pulang bersama sang calon suami. Mahesa kembali terdiam, ia meletakan undangan diatas mejanya dan mulai menghembuskan nafas dengan kasar ia hendak masuk kedalam rumah jika saja tidak ada gerombolan yang tiba-tiba datang kerumahnya pagi itu.

"Maaf tuan muda, sepertinya rumah sebelah akan segera ditempati oleh maneer Enderson"

Mahesa hanya mengangguk meminta para rewang untuk membersihkan rumah disamping kediamannya yang kosong cukup lama. Tak butuh waktu lama, Mahesa merapihkan pakaiannya dan menyambut kedatangan keluarga pejabat tinggi itu dengan ramah. Netranya menangkap perawakan pemuda yang tingginya tidak lebih dari tubuhnya sedang kesusahan menurunkan barang, ia kemudian pamit kepada sang ibu untuk membantu.

"Ada yang bisa kubantu tuan?" Pemuda itu menoleh, Mahesa dikejutkan dengan rupa manis juga netra yang sudah hampir menangis. Mahesa terkekeh pelan lalu membantu membawa barang bawaan pemuda itu kedalam rumah.

"Bawaanmu sangat berat, mengapa tidak meminta bantuan pada rewang?"

Mahesa terduduk disebelah pemuda manis itu seraya mengulurkan sapu tangan miliknya yang selalu ia simpan dibalik jas kecoklatan miliknya.

"Aku tidak berani, aku baru saja sampai dan kurasa itu akan merepotkan... Terimakasih sudah membantuku..."

Mahesa tertawa, lantas membuat yang lebih kecil menoleh karna heran. Apa yang salah? pikirnya

"Aku heran, ayahmu adalah meneer yang pastinya memiliki banyak pesuruh untuk mengikuti perintahmu tapi kenapa meminta bantuan pada rewang pun tak berani?"

Pemuda manis itu mencebik dan memukul pelan bahu Mahesa yang duduk disebelahnya.

"Aku tumbuh bersama mbok darsih, papa dan mama mengurus segala urusan hingga tidak mengurusku dengan baik. Mbok darsih mengajarkanku untuk tidak merepotkan, tapi aku sering merepotkan dia."

Mahesa mengerti, keluarganya juga demikian ketika sang ayah masih hidup. Mahesa juga diurus oleh seorang rewang meskipun dia cukup bandel saat itu. Tapi ia masih heran ketika menatap pemuda disampingnya, bukankah jiwa penindas itu harusnya turun pada sifatnya? Kenapa ia begitu manis dan penurut?

Terlarut dalam perbincangan, Mahesa jadi mengetahui sedikit tentang pemuda manis itu. Namanya Jericho enderson, ibunya adalah pribumi asli yang sangat cantik dan menawan. Mungkin salah satu alasan pemuda itu sangat menurut adalah didikan sang ibu yang merupakan pribumi asli.

Keesokan harinya kediaman cukup ramai dengan adanya pertunjukan wayang, Ini bukan hal yang asing jika mengenal keluarga Diyaksa yang terkenal begitu mencintai seni sebagai sebagian hidupnya. Jericho siang itu sedang membaca buku diteras rumah, sedangkan Mahesa tengah asik menari bersama anak-anak di pelataran depan rumah. Mahesa mengetahui atensinya terhadap Jericho dan berbisik kepada anak-anak untuk membawa pemuda manis itu kerumahnya.

Awalnya bocah yang paling kecil itu berlari kerumah Jericho tanpa rasa takut namun ketika ia berhadapan dengan Jericho rasanya bocah itu mendadak menjadi pendiam. Mahesa tertawa, membuat banyak pasang mata memperhatikannya dengan tatapan terpesona. Rupanya begitu tampan dan menawan, bagi Jericho pun tawa itu cukup membuatnya berdebar kencang.

"Kakak jericho ingin bergabung?"

Tangannya ditarik pelan oleh para bocah itu untuk ikut kedalam lingkaran kebahagiaan dikediaman Mahesa. Jericho tersenyum manis dan mengikuti dengan langkah tergesa, kemeja miliknya sedikit kusut namun tidak apa, kapan lagi ia merasa seperti ini setelah kematian mbok darsih? Anak-anak itu tertawa lalu membiarkan tangan Jericho digenggam oleh tangan lainnya. Telapak hangat yang lebih besar dari miliknya, genggaman Mahesa.

To be continue...

REMBULAN : MARKNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang