Mahesa hanya terdiam, berkas digenggamannya ia abaikan. Sang ibu menatap putra sulungnya itu dengan tatapan khawatir, jarang sekali Mahesa melamun saat itu bekerja. Perempuan cantik itu memasuki kamar sang putra dan mengusap bahu Mahesa memberikan dukungan tersirat.
"Sedang ada masalah?" Mahesa hanya mengangguk namun ia kembali fokus pada lembaran kertas ditangannya. "Ibuk tau kamu paling nggak bisa bohong sama ibuk, jadi ada apa?" perempuan itu duduk di salah satu kursi yang ada di kamar Mahesa sembari merapihkan jariknya yang sedikit kusut.
"Mahesa bingung buk, Jericho harus pindah ke kota lain jika tidak bisa mengendalikan pasar. Sedangkan Mahesa tahu keadaan mentalnya tidak akan sanggup menghadapi semua masalah pasar buk." pemuda itu meletakan kacamatanya dan bersandar pada kursinya, kepalanya sangat pening sejak pagi.
Sang ibu hanya tersenyum simpul, putranya takut kehilangan rupanya, ia sampai berfikir kenapa Mahesa sudah sedewasa ini memikirkan orang lain dibanding dirinya yang juga harus menghadapi pasar sendirian.
"Mahesa putra ibuk, mental bukanlah masalah dalam politik. Jericho memang harus bertahan bagaimanapun keadaannya, dan memang itulah yang harus Jericho lakukan sebagai putra seorang Enderson. Kamu juga seperti itu 5 tahun yang lalu, kamu mengeluh bahwa kamu tidak sanggup memegang pasar. Tapi lihat kamu sekarang? Kamu menjadi salah satu pemegang pasar terbaik."
Sang ibu kembali mengusap bahu pemuda itu, meyakinkan bahwa Mahesa bisa mencari jalan keluarnya sendiri. Mahesa hanya menatap sang ibu dan tersenyum "makasih buk, mahesa akan pikirkan masalahnya."
Mahesa akhirnya beranjak, memilih untuk mendudukan dirinya dibangku dekat kolam. Kekasihnya nampak berjalan mendekat dan kembali memeluk pemuda itu dengan erat "Sudah lebih baik sayang?" si manis mengangguk kemudian memeluk bahu Mahesa sebelum mendongak dan mengecup bibir yang lebih tua dengan cuma-cuma.
"Aku ingin belajar! Ayo ke pasar!" ucapan si manis lantas menghentikan aktivitas Mahesa menghisap rokoknya. "Aku tidak yakin... Tapi aku ingin saja, karna aku tidak mau pergi dari sini..." Mahesa hanya tersenyum simpul sebelum mengecup pipi merah merona itu. Ia tak ingin memaksa Jericho untuk menetap jika memang ia tidak siap. Bukan berarti Mahesa tidak berusaha, ia hanya tidak ingin menyakiti kekasihnya.
"Jangan memaksakan diri, jika kamu pindah nantinya aku juga akan sering berkunjung. Aku tidak mau nantinya kamu merasa terbebani dengan segala hal baru dalam dunia pasar." Mahesa hanya memperhatikan si manis yang mencebikan bibir. Astaga.. Kekasihnya ini merajuk rupanya, lantas Mahesa tertawa dan mengecupi wajah manis Jericho yang ada didalam dekapannya.
"Aku tidak ingin pindah hiks... Disini sudah sangat nyaman dan aku bisa merasa cukup bebas tanpa tekanan. Aku hanya ingin disini, ayo ajari akuu..." Mahesa tersenyum, ia akhirnya mengangguk dan tubuhnya ditubruk oleh si manis, keduanya tertawa dan saling mendekap. Nyatanya sang mama memperhatikan dari jauh, ia tersenyum simpul dan masuk kedalam rumah.
Keduanya berangkat ke pasar esok paginya, kebetulan saja Mahesa harus memeriksa beberapa stok dan keperluan para pedagang. Maka dari itu keduanya berangkat pada pukul 5 pagi, Jericho merapatkan jaketnya merasa bahwa angin berhembus cukup kencang dan terasa sangat dingin. Mahesa hanya menggenggam tangan Jericho erat dan tetap fokus pada jalanan sepi pagi itu.
Hujan deras tiba-tiba turun, membuat Jericho semakin merapatkan duduknya pada Mahesa. Yang lebih tua menghentikan mobilnya dan memeluk Jericho, namun bukan hanya hangat yang dirasakan pemuda manis itu. Bahunya basah, suara isakan pelan terdengar cukup jelas ditelinga Jericho. Mahesa menangis?
Dengan segala ketegaran yang ia kumpulkan untuk turun pada dunia pasar, ia hanya memiliki satu alasan untuk bertahan dan memilih untuk mengorbankan segala egonya. Ia hanya ingin bersama Mahesa di Jakarta tanpa gangguan atau tekanan sang papa. Itulah mengapa Jericho memilih untuk mempelajari semuanya. Tapi dari segala pikirannya ia tak berfikir Mahesa akan menangis untuknya.
Lihatlah betapa rapuhnya pemuda yang diagungkan para pengikutnya. Seberapa banyak luka yang ia pendam selama ini dapat Jericho rasakan dalam isakan Mahesa dalam dekapannya. Entah berapa lama Mahesa tidak bisa mengungkapkan rasa takutnya akan kehilangan, ia hanya bisa bersikap tenang sebagai topengnya selama ini.
Telapaknya terangkat, mengusap kepala Mahesa yang masih tertunduk dalam hangatnya bahu yang lebih muda. Isakannya tak kunjung mereda, Mahesa tak perlu banyak bicara untuk menunjukan bahwa ia benar-benar takut kehilangan Jericho dari pandangannya. Pada akhirnya Jericho ikut terisak dalam diam, ia tidak ingin Mahesa melihatnya selemah ini.
Keduanya terdiam sebelum Mahesa mendongak dan mencium bibirnya. Jericho terlarut dalam kecupan dan memeluk tengkuk Mahesa, saling menyesap sebagai tanda bahwa keduanya tidak ingin berpisah semudah ini. Maka dari itu Jericho akan berusaha untuk Mahesa, dan Mahesa akan membantunya.
Mereka tiba di pasar pukul setengah tujuh, pasar masih sangat ramai dan hiruk pikuk keributan tak terelakan. Jericho tidak tahu bahwa situasinya akan sangat kacau seperti ini, ia menengok ke beberapa arah sebelum terpaku pada seorang ibu-ibu yang nampak ketakutan dengan laki-laki didepannya. Sepertinya ibu itu dibentak, dan Jericho memilih untuk menghampirinya.
Ia terkejut ketika ibu itu didorong dan hampir jatuh. Ia mempercepat langkahnya dan membantu ibu itu berdiri "Ibu baik-baik saja? Kenapa tuan ini begitu kasar?" ibu itu hanya menggeleng "Tuan hanya meminta imbalan den." Jericho mengeryitkan dagunya, imbalan apa? Ia pernah dengar bahwa sewa pasar hanya dibayar sebulan sekali dan hari ini Mahesa bilang tidak ada penarikan apapun di pasar?
Jericho berdiri dan menutupi wajahnya dengan kipas ia berhadapan dengan pria seumuran papanya, sial... Kenapa ia tidak mengajak Mahesa tadi. Bagaimana lagi ia harus melawan sendiri.
"Maaf tuan, bukankah sewa pasar hanya dibayarkan sebulan sekali. Mengapa tuan meminta ibu ini memberikan imbalan jika anda tidak memberikan bantuan apapun? Bukankah melanggar hukum sama saja sebuah kejahatan?"
Pria itu nampak marah, ia melirik tajam kearah Jericho "Kau tau apa?! Bocah sepertimu tidak paham sekali tentang pasar! Lagipula pemilik pasar ini bodoh dan tidak bisa menghalangi saya ahaha." Jericho menajamkan matanya, berapa lama orang ini mengacaukan pasar? Sial, dia benci orang seperti ini.
"Bagaimana jika ku katakan aku mengenal tuan pemilik pasar ini? Mungkin kau tidak akan takut sekalipun, tapi dengarkan aku tuan. Apapun yang kau ambil dari pasar ini akan kau gunakan sebagai penebusan dosamu dipenjara nantinya."
Lelaki itu semakin marah, ia hendak menampar Jericho namun pemuda itu tetap tak bergeming dengan tatapan tajamnya. Tangan besar itu hampir saja mengenai pipi Jericho jika saja tidak ada tangan yang menahannya.
"Kurasa aku datang disaat yang tepat enderson?" Jericho tersenyum lalu mengangguk. "Harus kita apakan berandalan pasar ini Mahesa?"
To be continue..
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBULAN : MARKNO
FanfictionPada dasarnya kisah cinta keduanya adalah sebuah kisah cinta manis bagai permen gulali yang dinikmati kawula muda di pagi hari, hanya saja terkadang cinta sejati itu susah untuk dipertahankan sedemikian hari. Mahesa tahu dengan pasti bahwa Jericho c...