SENJA KALA ITU

467 73 0
                                    

Jericho baru saja lulus dari sekolahnya. Suatu kebanggaan bagi keluarga Enderson atas prestasi sang putra, William Enderson mengadakan sebuah jamuan makan malam. Sepertinya halnya semua orang tua, mereka begitu bahagia melihat nilai Jericho yang nyaris sempurna kala itu, mengabaikan apakah Jericho menyukainya atau tidak.

Jericho hanya merenung didalam bilik kamarnya yang gelap. Mbok darsih masih hidup saat itu, Jericho begitu menggantungkan hidupnya pada sang pengasuh dibandingkan sang ayah yang memikirkan nama baiknya didepan bangsawan lain.

"Tuan muda, sudah saatnya makan malam."

Hening, mbok darsih mencoba mengetuk pintu namun tak ada jawaban. Saat itu Mbok Darsih memberanikan diri membuka kamar sang tuan muda. Ia mendengar gemericik air cukup nyaring dalam senyapnya bilik kamar itu, ia mendekat dan menemukan sang tuan muda sudah terbaring pucat didalam bathtub. Mbok Darsih panik dan berteriak keras membuat segala atensi menuju pada bilik kamar itu.

"TOLONG!! PAK RADEN TOLONG TUAN MUDA!" Begitulah teriakan yang sekiranya terdengar hingga ruang makan. Sang mama lantas berlari ke kamar sang putra, namun ia disuguhkan pemandangan yang begitu menyakiti hatinya. Putranya.. Apa yang membuat Jericho sebegitu nekatnya malam itu?

Dadanya sesak, Jericho merasa dirinya tenggelam dalam genangan dan merasakan sesak teramat sangat.

Sakit... Sakit...

Tolong... Siapapun..

"Hahhh! hah... Mimpi?" matanya terbuka lebar, ia terduduk dan memegang kepalanya yang terasa begitu pening. Ia bergegas membuka jendela kamarnya untuk memberikan pasokan udara. Mahesa yang berada diseberang kamarnya lantas menengok, menaikan sebelah alisnya sebagai tanda bertanya.

Namun tidak ada jawaban, Jericho justru menangis dibalik jendela. Mahesa akhirnya beranjak keluar dari rumah dengan kaus oblong serta celana pendeknya, begitupun Jericho yang memilih berlari menuju taman pemisah rumah keduanya. Air matanya masih mengalir deras, ketakutan itu kembali datang dan ia hanya ingin Mahesa mendekapnya.

Mengabaikan alas kaki yang tak terpasang rapi, ia berlari menubrukan dirinya pada pelukan Mahesa. Tangisannya semakin kencang dan mungkin bisa membangunkan beberapa orang tamu yang tidur di kamar depan rumah Mahesa. Yang lebih tua mendekapnya hangat, memberikan usapan lembut pada punggungnya sebelum mengecupi surai halus Jericho.

"Ada apa? Kenapa menangis sepagi ini?" cengkraman pada kaus itu menguat, Mahesa cukup khawatir dengan kondisi sang kekasih akhir-akhir ini. Ia sering menangis dan merasa sesak secara tiba-tiba, ia bisa melihat piyama tak rapi dan alas kaki yang tak terpakai rapi. Ia yakin kekasihnya ini berlari keluar untuk segera memeluknya.

"Aku ketakutan.. Kenapa.. Kenapa aku harus lahir sebagai putra tunggal enderson..." Mahesa kembali mengusap surai si manis, mungkin sebuah perbincangan berat jika terkait hal seperti ini. Namun ia tidak ingin kekasihnya merasa tak nyaman, ia memutuskan untuk diam.

"Menangislah, sebanyak yang kau mau. Aku disini." Dan Jericho kembali menangis kencang, ia hanya merancau bahwa ia sudah lelah dengan segala pemikiran sang papa. Mahesa paham bagaimana rasanya, tapi Jericho tak sekuat dirinya untuk dicaci maki sebagai penopang keluarga nantinya. Jericho masih terlewat lemah untuk menghadapi kerasnya politik, dan Mahesa khawatir akan ekspetasi besar Enderson pada putra semata wayangnya.

"Sayang dengarkan aku, papa mungkin ingin kamu menjadi putranya yang kuat. Kamu kuat sayang, kamu bisa menghadapi semuanya." Jericho menggeleng, air matanya masih mengalir deras. Mahesa senantiasa mengusapnya sayang, berusaha memberikan energi positif pada sang kekasih.

"Papa hanya ingin aku menjadi sempurna, tidak berfikir apakah aku sakit, atau tidak berfikir apakah aku ingin menolak. Kenapa hanya mbok darsih yang mengerti? Kenapa mbok darsih yang lebih dulu pergi?!" Mahesa kembali mendekap tubuh ringkih itu, ia melirik kearah pintu dimana mama dari Jericho tengah menatap cemas pada dirinya.

Mahesa hanya mengangguk meyakinkan jika Jericho baik-baik saja. Dan satu jam berlalu, nafas si manis sudah teratur dan tertidur dipelukan Mahesa. Pemuda Diyaksa itu membawa tubuh Jericho pada gendongannya dan membaringkan si manis kembali ke kamarnya, pintu berderit pelan dan tertutup. Sang mama menunggu dengan senyuman tipis.

"Mahesa, bisa mama bicara sebentar?" Mahesa hanya mengangguk dan mengikuti sang ibu dari kekasihnya itu untuk terduduk di teras rumah. "Mama yakin jericho belum menceritakan ini, dia sempat ingin mengakhiri hidupnya saat berusia 18 tahun." terkejut dengan ucapan nyonya enderson, Mahesa menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"Kamu tahu, Jericho tumbuh dikalangan bangsawan yang di didik begitu keras hingga dewasa. Anak itu sangat lemah lembut meskipun ia mewarisi sifat tegas sang papa. Hari itu, adalah hari kelulusan Icho. Entah dia sudah menahan itu dari lama atau bagaimana, malam ketika makan malam berlangsung mbok darsih menemukan dia menenggelamkan diri di bathtub kamar mandi. Jujur saja mama sadar selama pendidikan Jericho memang jarang papanya perhatikan, papanya hanya menuntut nilai pada icho. Mama sudah mencegahnya dan nihil papanya tidak mau mendengarkan mama."

"Jericho sempat depresi sebelum kelulusan dan setelah kejadian itu naasnya kami harus kehilangan mbok darsih karna kecelakaan. Icho depresi berat dan mulai sering sesak nafas, ia takut tidak ada yang melindunginya dari sang papa selain mbok darsih. Mama memilih untuk pindah kemari agar tekanan Jericho berkurang, dan mama senang kamu membantu jericho nak. Tapi maaf mama harus mengatakan ini."

"Kami akan pindah lagi ke kota lain bulan depan jika jericho tidak kunjung membaik untuk memimpin pasar..."

To be continue..

REMBULAN : MARKNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang