Kala kaki itu berpijak diatas tanah basah, mata secerah langit itu berbinar. Tangannya digenggam oleh Mahesa yang saat ini memperhatikannya dengan seksama, ia mungkin kembali merasakan jatuh cinta pada setiap pandangannya terhadap sang rembulan. Chandra dan Julian memperhatikan lantas tersenyum dan saling memandang.
"Ayo jalan, ada perahu loh di pinggir danau kita bisa naik itu sembari menunggu lampion di naikan nanti."
Jericho menatap Chandra dengan tatapan berbinar, nampak antusias dengan apapun yang dikatakan Chandra padanya. Keduanya berjalan bersisihan dan berbincang asik meninggalkan Mehesa dan Julian di belakang sembari memperhatikan keduanya saling berbagi tawa.
Mahesa terdiam sejenak, menikmati senyuman manis sang pemilik hatinya. Bagaimana senyuman seindah itu mampu meluluh lantahkan hatinya dalam sekejap.
"Bukankah kamu selalu berfikir cinta tidak seindah itu mas?" Julian tersenyum, masih memandang lurus dimana Chandra dan Jericho melambaikan tangannya sembari tersenyum untuk memanggil keduanya. "Mungkin mas salah, cinta itu akan terasa indah jika duniamu akan berpusat pada satu titik dimana bahagiamu bermula."
Julian menepuk bahu Mahesa dan mendahuluinya, berlari menuju Chandra dan si manis yang menunggunya. Mahesa berkaca-kaca ia menggenggam erat tangannya dibalik saku celana, rasanya semua terhenti seketika. Ia terpaku dalam senyum Jericho yang memikatnya.
"Ibu benar, saya salah mengatakan bahwa begitu banyak orang yang akan datang silih berganti sebagai pengganti ryu hari itu. Bagaimana saya bisa melepaskan sosok seindah enderson ini nantinya..."
Jericho pula memperhatikan Mahesa dari jauh, ia memilih mendekat. Sedikit berlari dan mengotori sepatunya, Mahesa tersenyum lantas merentangkan tangannya. Jericho berlari cukup kencang sebelum menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Mahesa, keduanya tertawa pelan sebagai tanda bahwa keduanya begitu beruntung dipertemukan dalam satu kisah cinta.
Keduanya akhirnya berjalan beriringan menuju tepi danau yang cukup ramai. Keduanya menaiki perahu, sedangkan Chandra dan Julian ada di perahu lainnya. Jericho membawa sembuah lentera ditangannya, ia memilih melepas sepatunya karna kotor akan lumpur. Keduanya duduk berhadapan ketika perahu itu berjalan menuju tengah danau, suasana terasa begitu senyap dan romantis.
Jericho menangkap banyak pasangan kekasih disana, ia kemudian tertawa kecil. Mahesa meletakan dayungnya sebelum menggenggam tangan si manis, mengusapnya perlahan menikmati angin yang berhembus pelan. Anak rambut berwarna blonde itu bergerak tertiup angin, Mehesa lantas menyelipkan rambut itu dibelakang telinga sang kekasih.
"Dingin?" tanya Mahesa yang hendak melepaskan outer miliknya. Jericho menggeleng namun Mahesa tetap melepasnya dan memakaikan itu pada Jericho sebelum mengecup kening si manis. Kedua saling menatap, Mahesa mengusap pelan pipi sehalus kapas itu memberikan rasa hangat pada pemuda di hadapannya.
"Jika hari esok menjadi hari terberat dalam hidup kita, apa kamu akan tetap yakin untuk bersama sayang?"
Jericho mengerjap, kemudian mengecup bilah bibir Mahesa. "Jika itu terjadi, aku tetap yakin untuk bersamamu. Tapi bolehkah ikut berjuang untuk kita berdua? Tanpa berfikir apakah itu akan membahayakanku atau tidak?"
Mahesa hendak menggeleng namun ia memilih untuk memeluk erat tubuh Jericho "Izinkan aku yang akan berdiri terdepan untuk melindungimu, untukmu dan untuk kita. Jangan tinggalkan aku apapun alasannya Enderson..."
Ucapan lirih Mahesa membuat air mata Jericho tak tertahankan, pundaknya basah. Keduanya berbagi air mata malam itu, mengabaikan sekitar keduanya masih saling memeluk dan menenangkan. Mahesa lebih dulu beranjak dan mengusap kedua pipi Jericho matanya cukup sembab namun ia tetap tersenyum.
"Aku merasa beruntung bertemu dengan mu sayang, diantara banyak manusia yang datang dan pergi, kuharap kamulah yang akan bertahan disini bersamaku. Aku sangat mencintaimu sayang."
Jericho tersenyum dan mengecup pipi Mahesa sebelum tertawa kecil, cahaya meredup dan lampion mulai berterbangan, keduanya kembali saling menggenggam dan menikmati langit penuh cahaya kekuningan. Indah, malam dengan cahaya rembulan itu terasa begitu hangat. Lampion memenuhi pandangan, Mahesa mendekat kearah sisi perahu dan mengeluarkan dua perahu kertas dari dalam sakunya.
"Ayo arungkan ini dan membuat permohonan." Jericho hanya terkekeh pelan, ia tak tahu Mahesa masih mempercaya hal seperti itu di usianya yang sudah tak lagi muda. "Apa permohonan ini akan dikabulkan?" Jericho menengok pada Mahesa yang sudah memejamkan matanya, seperti berharap dengan sungguh-sungguh pada perahu kertas yang ia genggam.
Saat Mahesa membuka matanya, Jericho cepat-cepat menutup matanya untuk membuat sebuah harapan. Tidak ada yang ia harapkan selain kebahagiaannya, pula kebahagiaan Mahesa nantinya. Air matanya kembali turun, namun ia merasakan bahwa tangan hangat itu kembali menyekanya.
"Kamu ini berharap apa sampai menangis lagi?" Pertanyaan Mahesa hanya dijawab oleh gelengan pelan Jericho. Keduanya terduduk menghadap samping untuk meletakan kedua perahu kertas itu diatas air. Keduanya tersenyum dan kembali berbincang ringan diatas perahu.
Perahu menepi dan Jericho menapakan kedua kakinya diatas tanah basah, celananya sudah digulung selutut sama seperti Mahesa. "Kita akan pulang??" Mahesa menggeleng, lantas berlari dari sana meninggalkan Jericho bersama Chandra dan Julian.
"Mas mahes mau ambil sesuatu, jadi kamu ikut kami dulu ya." Chandra terkekeh pelan, ia menarik lengan Jericho untuk berjalan bersamanya. Sedangkan Mahesa tengah berdiri di didepan penjual perhiasan yang tadi ia lewati bersama Jericho. "Buk, saya mau melihat beberapa perhiasan rambut dan cincin bisa?"
Sang pemilik dagangan itu tersenyum dan mengangguk "Bisa den, untuk cincinnya ada didepan anda. Sedangkan hiasan rambutnya ada di rak atas. Saya takut ambilnya karna tanahnya licin." Mahesa tanpa ragu membantu, bermodal nekat Mahesa berdiri diatas Kursi itu. Tanah yang licin membuat mahesa terjatuh dan pakaiannya cukup kotor terkena tanah.
"Aduh denn maaf malah jadi kotor beginii" Mahesa hanya tersenyum dan tertawa "ndapapa buk, saya sudah dapat barangnya bisa tolong ibuk pilihkan untuk kekasih saya?" sang pemilik dagangan itu nampak tersenyum tulus dan mengangguk.
Pilihan ibu itu jatuh pada jepit rambut berwarna hitam dihiasi warna emas yang begitu menawan. Begitu pula cincin sederhana yang Mahesa beli untuk sang Kekasih. "Jadi berapa buk?" Ibu itu lantas menggeleng dan menggenggam tangan Mahesa. "Ibuk berikan itu untuk kamu, ketulusan kamu tidak akan bisa dibayar dengan apapun den."
Mahesa tersenyum, ia menggenggam erat kedua barang itu sebelum beranjak pergi menemui sang kekasih yang sedang bermain air bersama Chandra. Jericho menengok kebelakang, dimana ia bisa melihat Mahesa dengan pakaian kotornya, si manis berdiri dan menunjukan wajar khawatirnya.
"Kamu kenapa kotor begini?" ia melepaskan outer milik Mahesa dan kembali memakaikannya. Namun Mahesa justru berjongkok dan mengeluarkan cincin yang ia beli untuk Jericho. "Mungkin saat ini aku hanya bisa memberikan ini untukmu, sebagai tanda bahwa kamu hanyalah milikku dan aku adalah milikmu."
Jericho berkaca-kaca kemudian menangis, Mahesa menyematkan cincin itu ke jarinya. Ia berharap, apapun yang terjadi nantinya, apapun masalahnya, ia hanya ingin Jericho selalu ada di disisinya.
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBULAN : MARKNO
FanfictionPada dasarnya kisah cinta keduanya adalah sebuah kisah cinta manis bagai permen gulali yang dinikmati kawula muda di pagi hari, hanya saja terkadang cinta sejati itu susah untuk dipertahankan sedemikian hari. Mahesa tahu dengan pasti bahwa Jericho c...