LUJ 024

180 13 0
                                    


"Nana mau kok." Jaemin berucap lirih.

Jeno membulatkan matanya saat mendengarnya tak jauh berbeda dengan keempat orang tua yang juga berada di sana, sama-sama terkejut. Mereka bersyukur Jaemin akhirnya mau berusaha untuk mengikhlaskan keluarganya.

Tiffany mendekati tempat tidur Jaemin, memeluk pemuda itu dengan penuh kehangatan.

"Bunda bangga banget sama Nana." Ucapnya.

Tidak berselang lama, Jeno turut bergabung. Ia mengungkapkan rasa senang dan bangganya pada Jaemin lewat sebuah pelukan yang tak kalah hangat.

Dalam lubuk hati Jaemin ia juga sebenarnya merasa bersalah pada ayahnya, ia tidak mau terus menerus dibayang-bayangi rasa bersalah. Mungkin memang sudah saatnya baginya untuk mengikhlaskan semua yang terjadi di masa lalu dan fokus pada dirinya di masa kini.


***

Cw // little bit horror.


"Asli merinding banget dah gue tadi." Haechan menggosok pundaknya dengan telapak tangan.

Mereka berempat tengah berkumpul dalam ruangan Jaemin, duduk melingkar sembari fokus mendengarkan cerita Haechan yang tak sengaja melihat sesuatu saat pergi ke toilet rumah sakit. 

"Ah yang bener aja lo Chan." Jeno menunjukkan raut tak nyamannya.

"Sumpah Jen, kalau gak percaya lo pergi aja ke toilet yang ada di pojok lantai 4. Trus panggil aja dah." Haechan meyakinkan.

"Si tolol!" Satu pukulan mendarat di kepala Haechan, siapa lagi kalau bukan Renjun.

"Ngapain dipanggil, lo nggak manggil aja tu setan udah nampakin diri apalagi kalau lo panggil Chan, Chan ck...ck....ck" Ucap Jaemin.

Tidak lagi tertarik dengan cerita Haechan, Jaemin memutuskan untuk kembali memejamkan matanya untuk beristirahat, sedangkan Renjun dan Jeno terlihat sangat fokus saat Haechan melanjutkan cerita detik-detik dirinya bertemu dengan sosok yang ada di kamar mandi itu.

"Karena penasaran sama suara itu, gue coba buat ngedeket ke sumber suara, makin jelas." Haechan mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Makin jelas...." Suaranya memelan, membuat dua orang yang mendengarkan ikut maju mendekat.

"Jelaaaasss..."

"Gue deketin itu pintu dan....... BRAKKK!!!" Ucapnya berteriak.

"BANGSAT!!!/BABI!!!" Ucap Renjun dan Jeno bersamaan.

"Apa yang lo liat Chan." Ucap Jeno penasaran.

Haechan memundurkan tubuhnya, 

"Gaada." 

"Hah?" Renjun bingung.

"Ya gaada, gue ga liat apa-apa. Tapi asli suaranya..."

"Bagus?" Jeno menyela.

"Ish bukan." Haechan berdecak sebal.

"Merdu?" Tanya Jeno lagi.

"Anjing! lo jangan nyela dulu bisa ga!" Renjun emosi.

Jeno mengangguk tanpa rasa bersalah, lanjut dengan Haechan yang kembali serius.

"Suaranya ngeri banget, kaya ketawa melengking gitu." Haechan bergidik.


***


Ctak!

Lampu ruangan yang semula redup kini kembali terang, pelakunya adalah Tiffany yang masuk ke ruangan sembari membawa empat buah kotak makan.

"Kalian ngapain sih gelap-gelapan?" Tanyanya.

"Ah Tante Tiff, kenapa dinyalain. Ini suasananya udah bagus banget nih buat cerita horor." Ucap Haechan yang kecewa.

"Udahan dulu ya, kalian makan dulu. Belum pada makan sore kan?" Tiffany meletakkan tiga kotak di atas meja sedangkan satunya lagi di berikan pada Jaemin.

Empat remaja itu memakan makanannya masing-masing dengan lahap, walau sesekali terdengar suara Jeno yang menggeram kesal pada Haechan yang berani-beraninya mencoba mengambil potongan ayam Jeno.

"Oh iya Na, Chenle ga ke sini?" Renjun bertanya dengan mulut yang masih penuh.

"Ah iya Chenle, sibuk sama ekskulnya. Jadi belum sempet jenguk hari ini." Jaemin berkata.

Haechan menghentikan kunyahannya, ia menatap Jaemin dengan ragu sebelum menanyakan hal yang terbilang cukup sensitif bagi Jaemin.

"Ekhm, Na. Maaf nih kalau gue lancang, tapi sampe sekarang lo masih nganggap Chenle sebagai Jisung?"

Jeno dan Renjun tercengang mendengar perkataan Haechan, mereka berdua merutuki pemuda itu karena bisa-bisanya dia menanyakan topik sensitif dan membuat keadaan menjadi canggung seketika.

Sedangkan Jaemin, ia tersenyum tipis. Jika biasanya ia akan membentak kedua temannya dan menentang perkataan itu mentah-mentah. Menolak untuk mengakui bahwa ia memang memanfaatkan Chenle sebagai pelampiasan rasa rindunya pada Jisung.

Kini Jaemin mencoba lebih terbuka pada sahabat-sahabatnya, ia mengakui kesalahannya dan meminta mereka untuk membantunya memperbaiki diri. 

"Sebenernya dari beberapa hari yang lalu, gue udah berpikiran buat ngobrol berdua sama Chenle. Ya ngebahas tentang itu, gue merasa berdosa banget sama dia. Selama setahun ini gue larang dia buat lakuin ini itu, tapi dia gak pernah sekalipun marah sama perlakuan gue."

"Pelan-pelan ya Na, gue, Injun sama Echan bakal selalu dukung lo. Selain itu kita juga berharap lo bisa maafin diri sendiri ya Na." Jeno berucap.

Jaemin terharu akan ucapan Jeno, menaruh makanannya ke meja samping dan merentangkan tangannya lebar-lebar. Ketiga sahabatnya pun menghampiri dan segera memeluk erat Jaemin. Keempat sahabat itu adalah satu tubuh.



tbc



Lelaki di Ujung Jalan (NoMin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang