Setelah Jaemin mengantar Jeno kembali ke rumahnya, ia langsung berpamitan karena harus pergi bekerja. Dirinya menggunakan sang ayah untuk menjadi alasan, 'Takut dicariin ayah' katanya. Padahal ia tahu betul bahwa ayahnya bahkan tidak peduli ia pulang atau tidak.
Jeno yang melihat Jaemin sesekali meringis saat berjalan ingin menghentikannya dan membawanya untuk diobati, tapi apa daya, ia sudah menawarkan itu dan Jaemin menolaknya. Ia bukan siapa-siapa yang bisa memaksa Jaemin untuk menurutinya.
Bohong jika Jaemin bilang ia baik-baik saja, lututnya sakit, dan tangannya terasa perih. Namun jika ia biarkan Jeno untuk mengobatinya, maka Jeno akan melihat semua yang telah susah payah ia tutupi di balik seragam sekolahnya.
Dengan menuntun sepedanya, Jaemin berjalan melewati ramainya kota saat menjelang matahari terbenam. Hatinya sakit saat beberapa kali melihat keluarga yang tengah berbagi kasih satu sama lain. Sebuah kehangatan yang tidak akan pernah lagi ia rasakan.
Kalau saja waktu itu ia yang mati, apa keluarganya akan tetap bahagia? Ia merindukan ibu dan adiknya. Ia ingin mengadu pada ibunya, 'Ibu, ayah yang dahulu tidak berani membentak, kini tidak segan untuk memukul anaknya dengan tongkat besi.'
'Ibu, Nana rindu bertengkar dengan Jisung soal mainan, saling membentak hanya untuk berakhir berpelukan dan menikmati pancake di hari minggu seperti yang sering keluarga kita lakukan dahulu.'
Jaemin melangkah dengan tatapan kosong, tak sadar air matanya pun ikut menetes saat ia membayangkan masa lalunya yang dipenuhi kebahagiaan, keluarganya sempurna, namun kebodohannya menghancurkan segalanya.
'Mungkin ini saat yang tepat untuk mengakhiri segalanya.' Pikir Jaemin.
Kini dirinya tepat berada di atas jembatan dengan sungai yang mengalir deras di bawahnya, satu persatu kakinya ia bawa untuk menaiki pagar. Jaemin melihat ke arah bawah 'Kalau ia terjun dari ketinggian ini, ia akan langsung mati bukan?' Batin Jaemin.
Semakin tinggi ia memanjat, semakin ia rasakan dinginnya udara pada sore hari itu, Jaemin menutup matanya dan merentangkan tangannya untuk menikmati udara yang sejuk untuk terakhir kali. Semakin lama, tubuhnya semakin condong ke depan. Hari ini ia benar- benar siap.
Jantungnya berdegup dengan sangat kencang, ia membawa kaki kanannya untuk melangkah terjun ke bawah. Sepersekian detik sebelum ia terjun, sebuah tangan menariknya, membuatnya jatuh ke atas trotoar yang keras. Menyentuh luka yang bahkan belum mengering.
"Jangan..., jangan lakukan itu Nak. Masalah apa yang kamu hadapi sehingga kamu bisa menyerah dengan keadaan?"
Seorang wanita memeluk Jaemin dengan sangat erat, saking eratnya hingga membuatnya sulit bernapas. Wanita itu menangis sambil mengelus kepalanya. Sedangkan yang dilakukan Jaemin hanya diam tanpa membalas pelukan wanita itu.
Jaemin yang sudah lama tidak merasakan hangatnya sebuah pelukan tidak bisa lagi menahan air matanya. Tembok kuat yang selama ini ia bangun runtuh seketika. Dirinya dengan segera membalas pelukan wanita itu.
"Hiks..., Nana mau bertemu Ibu, Ayah jahat, hiks... ayah jahat."
"Sssh, tidak apa-apa. Kamu boleh menangis dengan keras dan ibu janji akan jadi tempat bersandar buat kamu tapi ibu mohon, jangan lakukan hal seperti tadi. Ibu juga punya seorang putra yang seumuran denganmu. Hati ibu sakit melihat kamu yang mau menyerah, pasti ibumu juga tidak mau kamu begitu."
Wanita itu terus mengusap kepala Jaemin dengan lembut, ia menahan air matanya untuk terlihat kuat di depan Jaemin. Walaupun Jaemin tahu, ia bisa merasakan tangan wanita itu yang gemetar.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki di Ujung Jalan (NoMin)
Teen FictionJaemin lelah dengan hidupnya, namun kedatangan seorang murid baru mampu membantunya melewati semua itu. Orang yang membuatnya percaya bahwa ia tidak sendirian.