Edisi HyuckRen
(Satu hari sebelum Jaemin sadar)
.
.
.
Tok
Tok
Tok
Seorang pemuda berdiri di depan pintu dengan memakai piyama merah muda. Hidungnya memerah menahan dinginnya udara di malam hari, baju yang dikenakannya terhitung sangat tipis. Beberapa kali ia terisak dengan bahu yang bergetar, sampai pintu di hadapannya terbuka.
"Injun?"
"Hiks, Echan....HUUWAAA!!!"
Haechan yang kebingungan dengan kehadiran Renjun di depannya dengan penampilan yang berantakan dengan segera merengkuhnya dan memeluknya, membawanya masuk ke dalam rumah. Mengabaikan tatapan bertanya dari ibunya yang datang dari arah dapur.
Ia mendudukkan Renjun di tempat tidurnya tanpa melepaskan pelukannya, ia mengelus lembut surai pemuda di hadapannya. Membiarkan bajunya basah akan air mata yang sedari tadi tidak berhenti keluar.
"Berantem lagi?" Tanya Haechan.
Renjun mengangguk dan kembali menduselkan kepalanya ke dada Haechan.
"Nih minum dulu atuh, kasian capek nangis dari tadi." Ucap Ibu Haechan yang baru datang dengan segelas air putih hangat di genggamannya.
"I-iya , hiks, ma-makasih." Jawab Renjun dengan sesegukan.
Taeyeon, Ibu dari Haechan menatap sedih pemuda yang sudah ia anggap anaknya sendiri, bagaimana tidak. Ia sudah bertetangga dengan Sooyong, Ibu Renjun, semenjak mereka remaja. Namun anehnya mereka tidak pernah akur, sampai akhirnya tetangganya itu menikah dan memiliki Renjun sebagai anaknya.
Taeyeon menekan nomor yang ada di ponselnya dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.
"Halo."
"Hmm, naon?(apa?)"
"Ieu budak kunaon, datang-datang geus ceurik kieuh. Ceuk urang ge ai maneh ngomong teh ka baleg tong ngegas wae, karunya eta si injun. "
(Ini anak kenapa datang-datang udah nangis, kata saya juga kalau ngomong itu jangan suka ngegas, kasian Injun)
"Atuh da budak teh aneh-aneh wae, hayang miara oray geura di imah. Hayang di dahar kituh."
(Abisnya aneh-aneh aja, mau pelihara ular di rumah, mau dimakan gitu)
"Geus lah ayeuna mah budakna didieu heula weh."
(Yaudah sekarang anaknya di sini dulu aja)
"Hmm."
Setelah panggilan terputus Taeyeon kembali ke kamar anaknya dan malah menemukan keduanya sedang berciuman, ia tentu terkejut dengan mata yang melotot, hampir keluar dari tempatnya. 'Alah siah, ieu mah mantak besanan atuh jeung si Sooyoung.'(Aduh, kayanya dia sama Sooyoung bakal jadi besan) -Batinnya.
***
"Chan, besok kita jenguk Nana lagi ya." Ucap Renjun.
Mereka sedang bersiap-siap untuk tidur, Renjun sudah membersihkan dirinya dan memakai piyamanya yang berada di lemari Haechan. Karena saking seringnya ia menginap, sehingga ia menyetok beberapa bajunya di sana. Haechan yang sedang membereskan kasur lipatnya menoleh ke arah Renjun.
"Iya, nanti pulang sekolah kita ke rumah Jeno lagi, tapi Njun, lo ngerasa aneh gak sih kenapa Jaemin malah di rawat di rumah Jeno bukan di rumah Chenle, secara Chenle masih termasuk ke keluarganya." Ujar Haechan sembari membaringkan dirinya.
"Iya juga ya, gue juga gatau Chan. Setelah gue pikir-pikir apa ga sebaiknya kita kasih pengertian lagi ke Nana? Gue gak tega sama Chenle soalnya." Renjun mengubah posisinya, kepalanya menunduk melihat Haechan yang tidur di bawah.
"Kayanya jangan sekarang deh Njun, soalnya Nana lagi gak stabil."
Renjun setuju dengan apa yang dikatakan oleh Haechan, ia juga tidak mau hal buruk terjadi pada Jaemin.
"Yaudah, mending sekarang lo tidur dah udah malem, nanti si mamah bisa marah kalau jam segini liat kita belum tidur."
Kedua pemuda itu kemudian memejamkan mata mereka, mengistirahatkakn tubuh mereka agar besok bisa kembali menjalani aktivitas dengan tubuh yang segar.
Haechan tertidur dengan nyaman sebelum..
BUGH!
Ia segera membuka matanya saat merasakan sesuatu yang besar menimpa tubuhnya. Haechan lupa jika Renjun itu tidak bisa diam saat tidur, kini badan Renjun telah sepenuhnya berada di atas tubuh Haechan.
'Sialan, sakit banget. Gue harusnya nyuruh dia tidur di bawah.' Batin Haechan yang kini menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara, tidak mau mengganggu tidur pemuda di atasnya.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki di Ujung Jalan (NoMin)
Fiksi RemajaJaemin lelah dengan hidupnya, namun kedatangan seorang murid baru mampu membantunya melewati semua itu. Orang yang membuatnya percaya bahwa ia tidak sendirian.