LUJ 016

182 15 0
                                    

Sinar mentari yang masuk lewat celah jendela membuat tidur Jaemin terganggu, perlahan ia membuka matanya, beberapa kali berkedip untuk membiasakan cahaya yang masuk ke retinanya sampai akhirnya ia terbangun dengan sempurna. Dilihatnya sekeliling ruangan yang terlihat asing, ini bukan kamarnya, juga pastinya bukan ruang inap rumah sakit.

Kamar dengan cat dominan gelap adalah hal yang pertama ia lihat saat sadar, Jaemin mencoba mengingat apa yang terjadi. Nihil, ia tidak mengingat apa-apa selain dirinya yang tertidur di kamarnya sendiri. Ia memperhatikan infus yang entah sudah berapa lama terpasang di punggung tangannya. Apa ada orang yang membawanya?

Jaemin sungguh sangat bingung sekarang, ia tidak tahu dirinya berada dimana. Bahkan ia hafal seluruh ruangan di rumah Chenle dan tidak ada satupun memori tentang ruangan ini. Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara air yang dipompa dalam akuarium yang diletakkan di atas sebuah meja kecil.

Kriett

Satu-satunya pintu yang berada di sana terbuka, menampilkan wajah yang sangat tidak asing bagi Jaemin. Siapa lagi kalau bukan teman sebangkunya, Jeno. Ia memperhatikan Jeno yang kesusahan membawa sebuah mangkuk dengan kepulan asap yang terlihat jelas. Ia menutup pintu dengan menggunakkan kakinya dan tersenyum ke arah Jaemin.

"Lo udah bangun Na? Ada yang kerasa gak?" Tanya Jeno sembari menghampirinya.

Banyak pertanyaan yang muncul di otak Jaemin, namun kini bibirnya seolah kaku. Ia hanya membalas pertanyaan pemuda di hadapannya dengan gelengan kecil tanpa mengeluarkan satu kata pun. Pandangannya tertuju pada mangkuk yang sedari tadi Jeno bawa, dari posisinya ia bisa melihat jelas asal dari kepulan asap tebal berasal, seporsi bubur ayam.

Jeno mengikuti arah pandang Jaemin lalu terkekeh setelahnya, ia menaruh mangkuk itu di atas nakas samping tempat tidur dan membantu Jaemin untuk bersandar pada kepala ranjang. Ia mengusap kepala Jaemin, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah dan menyodorkan gelas berisi air hangat kepada temannya itu.

"Berapa lama?" Tanya Jaemin secara tiba-tiba setelah menghabiskan air yang diberikan Jeno.

"Hah?" Jeno mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Berapa lama gue di sini?"

Jeno mengangkat kedua tangannya melipatkan jarinya satu per satu, terlihat mulai berpikir. Jaemin meneguk ludah kasar 'Selama itu kah?' Batinnya.

"Satu hari." Jawab Jeno dengan entengnya, ia mendudukan diri di samping tempat tidur.

Wajah cemas Jaemin seketika digantikan dengan raut datar, ia menarik napas dalam dan mencengkram bantal menganggur di sampingnya dengan sebelah tangan yang terbebas dari infus, mengarahkannya ke muka Jeno yang terlihat tanpa dosa. Tenaganya mungkin belum pulih, tetapi setidaknya emosinya dapat tersalurkan dengan baik.

Jeno yang terkena pukulan bantal itu tidak sempat menghindar sehingga ia hanya bisa pasrah dengan keadaanya, lagi pula rasanya tidak sesakit itu. Kini kembali dengan niatnya menemui Jaemin, ia mengambil mangkuk bubur yang ia bawa dan secara telaten menyuapi Jaemin hingga bubur itu habis, walaupun sesekali ia menyuapkannya pada mulutnya sendiri.

Saat Jeno tengah membereskan peralatan makan, pintu kamarnya kembali terbuka, terlihat maminya yang memasuki kamar, diikuti dengan seseorang yang memakai jas dokter di belakangnya. Jeno berpamitan pada Jaemin dan mengatakan ia akan kembali lagi setelah menyimpan mangkuk dan mengisi gelas minum. Ia mengelus rambut Jaemin dan mengecup kepalanya, membuat yang dikecup menegang, apalagi dengan kehadiran Bunda.

"Na, kenalkan ini dokter Yoona." Ucap Tiffany

Dokter itu tersenyum ke arah Jaemin, sangat cantik. Bahkan Jaemin sempat terdiam mengagumi keindahan makhluk tuhan di depannya. Kemudian ia menggeleng dan mengembangkan senyumannya. Dokter itu mulai memeriksa keadaan Jaemin, semua itu tidak luput dari pandangan Tiffany, ia sangat bersyukur kini Jaemin terlihat lebih baik dari sebelumnya.

Setelah pemeriksaan selesai, Yoona kemudian berpamitan pada mereka berdua karena harus pergi ke rumah sakit, Tiffany mengelus kepala Jaemin dan duduk di sampingnya, membiarkan pemuda itu dengan leluasa memeluknya. Jaemin merindukan ini, pelukan hangat dan wangi yang dimiliki oleh Tiffany.

"Gimana Bunda bisa bawa Nana kesini, sedangkan Nana yakin Ayah ada di rumah?" Ucap Jaemin menegakkan kepalanya dan menatap Tiffany tanpa melepas pelukannya.

"A-Ah Bunda sendiri yang izin, Jeno juga bantuin Bunda buat yakinin ayah kamu." Jawab Tiffany tanpa menatap Jaemin, tangannya yang sedari tadi mengelus punggung pemuda itu pun seketika berhenti.

Beberapa menit mereka berbincang hingga Tiffany mendengar suara dengkuran halus yang keluar dari kedua bibir Jaemin, ia memindahkan badan Jaemin yang masih memeluknya ke posisi yang nyaman. Tiffany mengecup pelan kening pemuda itu dan segera meninggalkan ruangan. Saat menutup pintu ia dikejutkan dengan kehadiran Jeno yang sudah menunggunya di depan pintu.

"Mi, Mami bohong ya?" Tanya jeno dengan tatapan mengintimidasi.

"Apasih Jen? Mami ga ngerti."

"Kita gak ketemu ayah Jaemin."

"Udahlah, biar dia tenang sekarang. Kamu belum sarapan kan, Mami udah buatin nasi goreng di dapur. Makan sana." Ucap Tiffany sambil mendorong Jeno menjauh.



tbc

Lelaki di Ujung Jalan (NoMin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang