2. Kalana

18 4 1
                                    

Kepergianku dari rumah kala itu, membuatku berhenti disini. Disebuah rumah yang mempertemukanku dengan bu Aya dan juga pak Ndaru. Sepasang suami istri yang begitu banyak mengajarkanku apa arti kehidupan. Bagiku, beliau adalah orang tua terbaik yang pernah ada.

Kata orang, anak adalah pelengkap kebahagiaan dalam rumah. Namun, pak Ndaru dan juga bu Aya tidak pernah mendapatkannya. Sebuah ketidak adilan untuk keduanya. Semesta memang seringkali bersikap tidak adil, namun kita harus tetap lapang untuk menerima setiap hal yang diberinya. Sebab, apapun yang semesta berikan, adalah yang paling baik untuk kita.

Jangan terkejut, apa yang aku katakan berbekal dari setiap ucapan yang dilontarkan oleh pak Ndaru dan juga bu Aya. Tinggal bersama mereka membuatku lebih banyak belajar untuk memaknai kehidupan.

Perkenalkan, aku Kalana. Cukup panggil Lana saja. Sebab Kalana sendiri memiliki arti langit. Namun, aku tidak pernah sekuat langit. Harapan yang tertera dalam nama itu layaknya sebuah kutukan. Aku yang harusnya seindah dan setegar langit, justru menjadi manusia yang seringkali menyalahkan semesta atas takdir hidupku yang begitu kejam. Namun, lagi-lagi aku harus tertawa dengan sikap semesta. Sebab kata pak Ndaru, dunia hanyalah permainan. Maka, ketika kita terlalu larut didalamnya, semesta akan membuat kita terlena, dan keluar dari jalur yang sudah seharusnya.

Umurku menginjak dua puluh tahun. Usia dimana manusia mulai memasuki kepala dua. Semakin beranjak dewasa seringkali membuatku banyak belajar. Belajar mendengar, menyampaikan, bahkan belajar untuk mengatakan tidak sekalipun.

Sebagian orang mengenalku sebagai gadis supel serta ceria. Namun, sebagian yang hanya mengenalku lewat nama, akan mengenalku sebagai gadis cuek dan jutek.

Oke, balik ketopik. Tidak perlu mengenalku lebih jauh. Biarkan saja mengalir, layaknya air yang senantiasa mengalir deras, dari sungai, menuju laut, lalu menguap menghasilkan sebuah hujan.

"Lana, kamu baru pulang nak?"

Baru saja aku memasuki rumah setelah pulang dari kantor, bu Aya menghampiriku. Membuatku segera mencium punggung tangannya.

"Iya, bu. Lana baru pulang." aku celingukan, menatap sudut rumah ini, sembari menebak apakah yang lain sudah berada dirumah, atau masih dengan kegiatannya masing-masing.

"Emm, yang lain udah pulang, bu?" tanyaku kepada bu Aya.

Dengan senyuman manisnya, beliau menatapku dengan sayang, lalu kembali menjawab pertanyaanku. "Belum, mandi ya, habis itu makan. Ibu sudah masak tadi." Selama aku hidup, hanya bu Aya yang memperlakukanku seperti ini. Beliau benar-benar menganggapku selayaknya anaknya sendiri.

Satu hal lagi yang aku kagumi dari bu Aya. "Hari ini gimana, Lan?" sebuah kalimat yang membuatku kembali merasa menjadi manusia.

Segelas air minum baru saja menghilangkan dahagaku. Sembari menaruh gelas itu, aku menatap bu Aya sebentar.

"Lumayan capek bu, agak banyak kerjaan hari ini. Ibu sendiri gimana?" melihat gurat lelah yang terlintas di wajah bu Aya, aku yakin hari ini terasa begitu melelahkan untuknya. Namun, bu Aya menanggapiku dengan senyuman, lalu mengatakan, "hari ini memang cukup melelahkan. Tapi, ibu senang. Sebab apapun yang dilakukan dengan rasa senang, lelahnya nggak akan terasa Lan." Lelah yang tadinya bertengger dalam bahuku, kini seolah memudar kala mendengar ucapan bu Aya.

"Sore ibuk." Dengan senyuman cerianya, Senja memasuki rumah, disusul dengan Falisha yang berada dibelakangnya. Tawa keduanya terdengar, memecahkan keheningan yang sebelumnya terjadi.

"Ngetawain apaan dah, keliatan lucu bener." Aku menatap keduanya dengan pandangan bingung, sembari menunggu jawaban yang mereka berikan.

"Lo tau nggak sih, kak, tadi ada cowok kan mau deketin kak Falisha, eh nggak Taunya dia udah beristri, njir. Mana tadi disamperin istrinya sambil di jewer gitu." Perkataan Senja sukses membuat tawaku terdengar. Sedangkan bu Aya, beliau hanya tersenyum keheranan melihat setiap tingkah kami.

Aku berjalan memasuki rumah, menuju kamarku untuk berganti pakaian, lalu Kembali ke dapur untuk makan. Kamarku berada pada bagian paling ujung di rumah ini. Tempat ternyaman untuk melakukan apapun. Bekerja, istirahat, menatap langit.

Dan disini, sebuah arena tersendiri untukku menghabiskan waktu entah itu bekerja, atau sekedar melamun. Tepat didepan jendela kamar, sudut favoritku. Kalau pagi dan sore, pemandangannya terlihat keren. Terlebih, ketika suasana Mentari tengah terlihat cerah. Dilengkapi dengan bunga sepatu yang ditanam oleh bu Aya, seolah menjadi media bermeditasi yang paling sempurna.

Langit memang senantiasa membawa senyuman. Bahkan, meski terlihat mendung sekalipun, seolah masih dapat membuat yang memandang tersenyum. Entah hanya aku yang merasakan atau orang lain pun merasakan hal yang sama, namun ketika aku menatap langit, hatiku merasa tenang. Apalagi ketika hari yang ku lalui terasa begitu berat. Pada saat itu, aku merasa langit tengah menatapku sambil tersenyum, lalu mengatakan

Hey, Nggakpapa, everything will be oke.

Mungkin, ketika orang tuaku menyematkan nama Kalana kepadaku, mereka juga ingin aku layaknya langit. Menenangkan. Meski senantiasa dipenuhi dengan badai ataupun Guntur, langit tidak pernah runtuh.

Aku bekerja sebagai graphic designer di sebuah startup yang baru berdiri sekitar tiga tahun lalu. Keadaan rumah yang terasa begitu memuakkan membuatku memilih meninggalkannya. Mencari sebuah suasana baru yang membuatku lebih nyaman.

Yang ternyata, dibalik sifat menyebalkannya, semesta mempertemukanku dengan bu Aya dan juga pak Ndaru. Manusia berhati mulia yang menolong sampah sepertiku.

Memang, begitu jarang orang yang bersedia menjadi tempat sampah. Namun, ketika dipertemukan, kadang kitanya merasa kurang. Pantas, kebanyakan orang akan lebih senang memberi saran "Harus bersyukur," ketika manusia sering mengeluh dan tidak peka.

Setelah beberapa waktu dikamar, aku segera menuju dapur. Semuanya sudah datang, beberapa tengah membantu bu Aya menyiapkan makanan, sedang yang lain tengah berbincang, sekedar untuk bercanda mengundang sebuah kehangatan yang datang.

"Nah ini nih, yang baru dateng." Lagi-lagi, pasti aku yang dijadikan incaran candaan mereka. Perkara tidak sengaja menabrak cowok kompleks sebelah beberapa bulan lalu, bisa jadi jokes sampai hari ini. Terlebih, Senja. Duh, anak satu itu memang tidak ada takut-takutnya kalau bercanda. Untungnya, kita semua masih bisa menerima setiap candaannya. Bu Aya tidak pernah marah mengenai candaan kita. Bahkan, beliau tidak pernah terganggu. Bagi beliau, candaan kita senantiasa membuat rumah terasa lebih ceria.

Setiap hal memiliki masanya masing-masing, nduk. Makannya ketika kalian bertingkah ibuk nggak pernah ikut campur. Lawong namanya juga anak muda. Kata beliau kala itu.

"Yaelah bosen gue. Yang lo bahas gue sama tuh cowok mulu Nja, yang lain kek," Lontarku, merasa bosan dengan candaannya.

"Beneran bosen Lan? Bukan karena takut ketahuan salting kan?" kalau yang lain sudah mengikuti senja, aku hanya bisa diam, tidak menggubris candaan mereka.

"Jangan gitu, kalau Kalana beneran baper memang kalian mau tanggung jawab?" nahkan, aku bilang juga apa, bahkan bu Aya ikut menimpali candaan mereka, membuat tawa semakin terdengar.

"Ih, ibuk mahh." nadaku terdengar manja, sedang bu Aya hanya menanggapinya dengan tawa.

"Tapi memang bener loh, perasaan itu bisa tumbuh hanya karena candaan. Bisa aja hari ini kamu bilang nggak baper, nggak salting. Tapi, nggak tau besok."

Setelah ucapan bu Aya itu, pembicaraan kita lebih serius dari sebelumnya. Dan seperti itulah kehidupan dirumah ini berjalan, disamping candaan kita yang kadang terlalu berlebihan, kita juga senantiasa berusaha untuk belajar memaknai soal kehidupan.

Not A Super WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang