Senja Pov
Kalau ada nominasi orang-orang terbucin sepanjang masa, gue yakin banget kalau kak Falisha sama kak Lintang pantes buat dapetin nominasi itu. Bucinnya nggak ketulungan, bahkan, rela nyakitin diri sendiri cuma buat bucinin orang yang sama sekali nggak effort ke dianya.
Mungkin, gue bisa ngomong gini karena gue belum pernah merasakan bucin ke orang. Tapi jangan sampe, deh. Apalagi sama orang yang nggak punya effort, amit-amit.
Jangankan orang nggak punya effort, ada cowok ngajak jalan gue jemput depan gang aja langsung bikin ilfeel. Yang kayak gini gimana nggak nice try terus.
Gue membuka ponsel yang sejak tadi ada di saku almet, diving pesan yang belum sempet gue buka. Pesan pertama dari grup rumah bu Aya. Hampir tiap hari pak Ndaru nggak pernah absen buat kirim kalimat-kalimat motivasi yang entahlah dibaca atau enggak sama yang lain. Kalau gue sendiri, udah jelas lah kalau pesannya terlalu panjang nggak gue baca. Malesin.
Tapi, gue salfok sama satu kalimat yang beliau kirim. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri korea supaya bisa ketemu oppa. Satu kalimat itu berhasil ngebuat gue ketawa nggak jelas dikelas pagi ini. Untungnya, dosen belum dateng, sampai akhirnya, suara temen gue berhasil menghentikan gue dari tawa itu.
"Ngapain lo?" tanyanya ke gue. Dengan spontan, gue mengalihkan pandangan, menatap Erin dengan pandangan datar.
"Kagak. Baca pesan doang nih bikin ngakak." Setelah menjawab pertanyaan Erin, pandangan gue kembali ke arah ponsel.
Gerutuan Erin masih terdengar dengan jelas di telinga gue. "Nggak jelas," katanya. Tapi nggak gue gubris.
Setelahnya, pesan dari mama jadi salah satu pilihan pesan yang harus gue baca. Namun, gue kembali tersenyum simpul ketika membaca pesan itu. Jangan sampai telat makan, dek. Nanti asam lambung kamu naik. Bahkan, disaat gue jauh dari rumah, pun, mama nggak pernah absen buat selalu ingetin gue soal hal-hal kecil.
Mama itu pelita gue, meskipun kadang tingkahnya agak nyebelin, nggak bisa dibohongin juga kalau gue sayang banget sama mama. Gue emang anak strict parents. Mungkin, karena gue jadi satu anak bungsu yang agak bengal dikeluarga gue, membuat mama sama ayah memutuskan untuk membatasi ruang lingkup main gue. Pun di awal, gue nggak diperbolehkan buat kuliah diluar kota kayak gini. Namun, ketika gue mendalihkan mimpi mama sebagai alasan gue untuk kuliah diluar kota, izin itu gue dapetin. Karena terus terang aja, ayah nggak seketat itu kalau ngadepin gue.
Setelah cek pesan mama, gue iseng cek story ayah, foto gue yang pamerin hasil nilai. Captionnya, kayak gini, you doing great, dek. Selama apapun yang kamu mau kamu usahakan dengan baik, pasti akan dapet hasil yang baik pula.
Ketika gue lagi enak nge-cek story whatsapp, ponsel gue kembali bergetar, pesan yang muncul di notifikasi sih, dari kakak. Menanyakan, hadiah apa yang gue mau, karena gue udah dapetin nilai bagus. Dengan cepat, gue buka pesan itu, mengetik satu persatu huruf dalam papan ketik.
Uang ajalah, kak. Gue lagi pengen jajan, jawab gue.
Kata orang, gue adalah salah satu anak paling beruntung, karena dekat sama keluarga. Setiap kali gue ngeluh soal keluarga ke temen-temen gue, nggak jarang mereka bakal bilang lo ngeluh mulu. Bersyukur, lo udah diperhatiin sama keluarga lo sampai segitunya. Tapi, mereka nggak pernah melihat apa yang ada di dalamnya. Ada banyak mimpi dan ekspektasi keluarga yang harus jadi tanggung jawab gue. Mimpi dan ekspektasi itu harus gue wujudin gimanapun caranya, karena kalau enggak, kata mama gue bakal jadi anak yang gagal buat balas budi ke orang tua.
Rasa nyeri yang sering kali muncul di pundak gue, mungkin itu rasa lelah. Lelah untuk menampung semua mimpi dan juga ekspektasi mereka. Nggak jarang, gue minta pijitin kak Lana atau bu Aya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Super Woman
ChickLitPerhatian! Sebuah rumah dekat dengan universitas, jalan umum, dan juga perusahaan disewakan!. Hanya butuh maksimal lima orang untuk menyewanya!. Hubungi saya jika ada yang tertarik!. Postingan yang terpublikasi pada sosial media berlogo biru itu men...