10. Falisha; Cheating

2 1 0
                                    

Kalana Pov

"Kita tuh nggak akan pernah tau isi buku kalau nggak ngebacanya. Pun, dengan Tara. Mungkin, kelihatannya dia cupu, keliatan kaya orang bego yang nggak peduli apa-apa, tapi kan kita nggak pernah tau, hidup dia kaya gimana. Kalau ternyata dia cuma pura-pura bego biar nggak nambah luka gimana?" Aku menanggapi perkataan Senja dan Lintang yang sebelumnya tengah membicarakan soal Tara. Lelaki yang rumahnya tepat di sebelah kanan rumah bu Aya. Problem nya, sih, nggak jauh-jauh beda dari aku. Suka terlihat pura-pura bego, padahal ngerti soal apa yang lagi dibahas. Menghindari penyakit hati.

"Iya-iyaa. Yang demen sama Tara mah, beda." Cuitan dari Senja benar-benar membuatku sedikit kesal. Pun dengan Lintang yang tiba-tiba mengikuti gaya Senja, "Ciee. Bilang aja kali, Lan, kalau suka sama Tara. Entar gue sampein," ucapnya.

Hadeh, yang seperti ini memang seringkali menyebalkan. Dugaan mereka soal pembelaanku untuk Tara pasti akan senantiasa menjadi topik yang mereka bicarakan. Padahal nggak ada hal lucu sama sekali. Membela dikira jatuh cinta, memberi dikira memiliki rasa, perasaan seringkali dibuat bercanda, sampai susah sendiri mau membedakan mana yang harus diseriusin dan mana yang harus dibercandain.

Lucu sih, tapi apa iya soal perasaan harus dibercandain juga? aku sudah terlalu kesal dengan apa yang mereka lakukan.

"Harus banget gue, ya?" tanyaku, menyinggung soal candaan mereka yang membuatku sedikit kurang nyaman.

"Karena lo yang paling enak di bercandain, kak. Lo itu orangnya jarang masukin apapun ke hati." Yang dikatakan Senja memang nggak sepenuhnya salah, tapi aku pun tetap manusia yang bisa merasa sakit hati.

"Tapi gue juga punya hati," jawabku singkat.

pembicaraan itu terhenti ketika Damara mendekat ke arah kami. Suasana teras sore ini memang begitu enak ketika digunakan untuk berkumpul. Ditemani dengan swastamita yang mulai menunjukkan jingganya, dan juga beberapa ciki yang baru kita beli di warung depan.

"Gimana first date kemarin?" Senja menanyakannya kepada Damara.

"Iya, gitu." Sama sepertiku, Damara juga tidak terlalu suka untuk membicarakan soal perasaannya. Dia lebih memilih menyimpannya sendiri, atau bercerita ketika dia ingin. Secret, but not private.

"Yaelah, lo mah, kalau diajak cerita nggak seru," ujar Lintang.

"Ya emang harus kayak gimana anjir. Orang gue sama Satya jalan biasa doang." Jawaban Damara benar-benar terdengar datar. Perkara hubungan memang tidak selalu harus di umbar, ada beberapa hal yang memang harus disimpan sendirian. Setidaknya, ketika orang itu sudah tidak bersama kita, kita masih memiliki kenangannya.

Candaan Senja yang terlewat lucu membuat tawa terus terdengar. Namun, ditengah candaan itu, Falisha tiba-tiba datang, dengan wajah yang begitu murung, membuat suasana yang tadinya penuh dengan tawa, menjadi hening seketika.

"Kenapa, Sha?" Damara, sebagai seseorang yang paling tua diantara kita bertanya kepada Falisha, membuatnya menatap Damara sebentar.

"Nggakpapa, kak," jawabnya singkat.

"Eh, kemarin lo habis dari solaria ya, kak?" Setelah keterdiaman yang terjadi beberapa saat, Senja kembali membuka obrolan.

"Iya, promo anjir kemarin. Diskon 50%, sayang nggak diambil," kata Lintang, menyahuti perkataan Senja yang tertuju kepadanya.

"Ih anjir. Nyesel gue kemaren diajak temen nggak mau. Tau gitu mah, gue kesana juga. Pesen apa lo kak?" tanyanya kembali.

"Ayam asam manis. Eh tapi emang di mall lagi banyak diskon. Lo ke executive juga dah, asli, lagi banyak sale. Kemaren ada sale spesial valentine juga." Baru saja Lintang menyelesaikan kalimatnya, sebuah isakan terdengar, membuat tatapan semua orang, tak terkecuali aku, menatap kepada sumber isakan itu.

"Kenapa, Sha? lo gapapa?" tanya Lintang, ketika melihat isakan tangis itu berasal dari Falisha.

"Sakha selingkuh, kak." Tangisan terdengar semakin keras setelah Falisha mengucapkan kalimat itu dalam satu tarikan napas.

"Lo tau dari mana?" tanyaku kepada Falisha. Aku memang tidak begitu ingin ikut campur mengenai hubungan orang lain, karena masalahku sendiri sudah cukup rumit.

Pandanganku masih terlihat datar, sebelum akhirnya, Falisha membuka suara kembali, "gue iseng, nyadap ponselnya dia. Terus, pas cek wa nya dia malah chat sama cewek lain." Aku mengerutkan sebelah alisku.

"Buat apa lo nyadap ponselnya Sakha?" tanyaku, meminta penjelasan.

"Ya iseng Lan. Gue feeling nggak enak, aja. Dan ternyata malah bener. He's cheating with another girl," jawabnya, masih dengan sesenggukan.

"Nih, ya Sha. Buat gue, ada beberapa hal yang nggak perlu kita tau, biarin itu jadi rahasia masing-masing. Termasuk ponsel. Banyak privasi yang kesimpan di ponsel. Terlepas dari perselingkuhan Sakha, gue nggak nyalahin lo, sih, kalau nyadap ponsel Sakha. Karena gue tau lo sayang sama dia. Tapi di posisi Sakha juga dia pasti marah, sih, tau ponselnya lo sadap gitu." Damara kembali berucap, menasehati Falisha dengan sikap sesantun mungkin.

Sedangkan aku sendiri, masih diam, mendengarkan segala saran yang dilontarkan oleh Lintang, Damara, dan juga Senja kepada Falisha, "udahlah, putus aja. Ngapain pertahanin orang toxic kayak dia."

"Lo nyuruh gue putus karena lo nggak pernah ngerasain apa yang gue rasa kan, Nja?" Perkataan Falisha itu langsung dibantah oleh Lintang. Semua orang sudah tau bahwa kita semua sudah menganggap Senja selayaknya adik sendiri. Hanya saja, kadang pernyataannya memang sedikit menyebalkan. Nggak heran, kalau Falisha atau Damara diam-diam sakit hati dengan perkataannya.

"Dih, ya jangan sampe lah. Justru karena lo punya cowok kayak Sakha, Senja harus belajar, buat cari cowok yang bener," ucap Lintang, seolah didunia ini ada lelaki yang begitu sempurna. Aku bisa melihat rasa sakit yang tenggelam dalam mata Falisha. Senja dan Falisha adalah perbaduan sempurna kalau urusan menyakiti orang lain dengan lidah mereka.

Perkataan orang memang seringkali terlampau menyakitkan, sebuah pertanda kalau lidah memang tidak bertulang. Tapi, setiap kalimatnya masih aja sering melukai hati seseorang.

Kalau ditanya kenapa sedari tadi aku terdiam dan nggak memberi saran, karena bagiku yang dibutuhkan Falisha hanyalah sebuah telinga untuk mendengar. Nggak semua orang bisa paham soal kesedihan banyak orang. Maka, daripada berbicara omong kosong yang hanya akan membuat orang lain terluka, lebih baik diam, mendengarkan apa yang dia ceritakan.

"Kok pada kumpul disini? ada masalah apa?" Suara bu Aya membubarkan kegiatan kita yang asik dengan pikiran masing-masing. Dibelakangnya, pak Ndaru membawa sebuah keresek belanja, bisa aku lihat kalau isinya adalah beberapa kebutuhan dapur dan juga camilan.

"Kalau mau nangis, nangis aja Sha. Buat jadi lemah sebentar aja nggakpapa. Nggak usah disembunyiin gitu tangisnya." Akhir dari ucapan pak Ndaru diselingi dengan sebuah kekehan pelan. Lalu, beliau masuk kedalam rumah, menaruh barang belanjaan itu.

Ponsel Falisha berbunyi, sebuah pertanda kalau ada telepon masuk. Setelah mengangkat telepon itu, dia menyalakan loud speakernya, "Sha, kamu salah paham. Ayo, bicara sama aku baik-baik."

Not A Super WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang