Kalana Pov
Langit pagi ini benar-benar mendukung untuk bersantai, ditemani dengan secangkir kopi hitam panas dengan rasa yang begitu pekat. Namun, yang aku lakukan pagi ini justru hanyalah duduk, sambil memejamkan mata, seolah meletakkan segala beban yang sudah terasa berat dipundak.
Masalah datang silih berganti, kenangan berputar seperti sebuah kaset yang rusak. Sikap orang, curhatan kakak, keluhan abang, dan juga perkataan ibu menjadi satu-satunya hal yang kini aku pikirkan sendirian. Apakah menjadi anak bungsu memang harus begitu? mendengarkan semua keluhan keluarga tanpa sadar dengan beban sendiri.
Pikiran-pikiran takut akan masa depan dan juga masalah yang kini tengah melanda membuat rasa datar begitu terasa dalam hidupku. Tidak senang, tidak sedih, pun juga tidak merasa dicintai. Hanya merasa sendirian.
"Nanti, kalau kamu mau cari pasangan, cari yang bibit bebet bobotnya jelas."
"Dek, udah kirim uang?"
"Dek, kakak sakit. Kamu tau nggak sih, kakak tertekan disini."
Sampai akhirnya, kicauan burung lovebird itu membuat mataku yang tadinya terpejam, kini terbuka. Menampilkan pak Ndaru dengan sangkar burung yang kini ada ditangannya. Perlahan, beliau menaruh sangkar burung itu tepat didepan rumah, sembari bersiul pelan, semakin memancing kicauan burungnya.
Tatapanku beralih ke pak Ndaru yang kini tengah bermain-main burung itu. Kicauannya terdengar merdu, seperti tidak memiliki beban apapun. Kalau saja bisa memilih, aku ingin menjadi burung, terkurung dalam sangkar, namun segalanya tetap terpenuhi. Atau mungkin terbang bebas diangkasa, menjauhi dunia manusia yang kini terasa begitu memuakkan.
"Gimana, Lan? baru awal bulan ketiga kok kelihatannya sudah akhir tahun." Celetukan pak Ndaru berhasil membuatku tertawa hambar. Enggan menjawab pertanyaan beliau, aku masih terdiam, menatap burung yang kini masih berkicau.
"Jangan jadi manusia sendirian, Lan. Kalau semuanya dirasain sendiri, mah, nggak akan ada habisnya," ada jeda sedikit dari perkataan beliau. Menatap ke arahku sebentar, lalu tersenyum.
"Nanti kamu bisa gila," lanjutnya.
Aku kembali terkekeh, menatap pak Ndaru yang kini duduk disebelahku, pandangannya masih sama, menatap burung dalam sangkar yang kini sudah menggantung tepat di atap rumah.
"Baru awal bulan ketiga, pak. Tapi masalahnya udah kayak hampir setahun." Setelah beberapa saat memutuskan menyimpannya sendirian, pada akhirnya aku memutuskan untuk membuka suara.
"Masalah itu nggak pernah nunggu kapan dia datang, Lan. Nggak pernah kasih aba-aba juga, pun jeda buat kita napas." Dengan pandangan yang masih menatap burung dalam sangkar itu, pak Ndaru membuka suaranya. Suara yang begitu khas dengan nada teduh yang begitu menenangkan.
"Masalah datang bukan untuk diselesaikan, Lan. Kita cuma perlu menghadapi. Mungkin, kalimat yang baru saja bapak ucapkan terdengar klise. Tapi, suatu saat nanti, pasti ada fase dimana kamu akan berpikir oh, iya, ternyata aku bisa sampai di titik ini. Padahal sekali aja kamu nggak pernah mikirin solusi." Setiap kalimat yang keluar dari bibir pak Ndaru memang senantiasa memiliki makna. Dan lagi-lagi, benar kata beliau. Masalah diciptakan untuk menguji rasa sabar kita, melapangkan hati kita. Tapi, nggak bisa dipungkiri juga, bahwa adanya masalah membuat kita seringkali merasa stress. Kalimat let it flow menjadi satu kalimat klise yang kadang terasa menyebalkan.
"Lan, semakin dewasa, kepala harus siap bising, hati harus siap risih, hidup harus siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang nggak pernah kita mau."
Setelah mengatakan hal itu, pak Ndaru memutuskan untuk masuk kedalam rumah, meninggalkan ku bersama dengan segala hal yang masih terlintas dalam kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Super Woman
Chick-LitPerhatian! Sebuah rumah dekat dengan universitas, jalan umum, dan juga perusahaan disewakan!. Hanya butuh maksimal lima orang untuk menyewanya!. Hubungi saya jika ada yang tertarik!. Postingan yang terpublikasi pada sosial media berlogo biru itu men...