7. Lintang; Fake nerd

8 2 4
                                    

Kalana Pov

Bunyi bel rumah terdengar nyaring, membuat aku segera bergegas untuk membuka pintu pagar.

"Iya, cari siapa?" Tanyaku, saat mengetahui seorang lelaki berkacamata sedikit tebal berdiri tepat di depan pagar.

"Lintangnya, ada?" Tampilan nerd yang mendominasi dalam dirinya seolah menjadi samaran yang tepat untuk menyembunyikan wajah manly nya. Suara yang terdengar dari bibirnya terlihat begitu gagah, seolah sudah siap untuk membawa anak gadis orang kencan.

"Lintangnya belum pulang, mungkin bentar lagi," jawabku, dengan raut wajah datar.

"Siapa, Lan?" Suara Falisha membuatku dengan cepat menolehkan wajah kearahnya. Pandangannya terlihat mengintimidasi, membuat siapa saja yang melihatnya, pasti akan ketakutan.

Memang, diantara kita berlima, Falisha yang paling posesif. Sebagai seseorang yang sedikit mengerti soal dunia malam, jelas dia akan menilai siapa saja orang yang dekat dengan teman-temannya. Dan, hal ini lah yang saat ini tengah dia lakukan.

"Temennya Lintang, nih. Lo temenin dia dulu ya, gue mau telepon Lintang." Setelah mengatakan hal itu, aku segera meninggalkan mereka berdua bersama pikirannya masing-masing.

Raut wajah Falisha masih terlihat mengintimidasi. Kini, tatapannya beralih menatap lelaki itu, menuntut sebuah kejelasan tentang identitas dan juga maksud serta tujuannya kesini.

"Pulang jam berapa?" aku segera membuka obrolan ketika panggilan yang aku kirimkan untuk Lintang diseberang sana sudah terhubung.

"Ini kerjaan gue udah kelar kok. Baru aja mau siap-siap," katanya. Terdengar sedikit berisik, aku yakin dia tengah membereskan meja yang kini tengah berantakan akibat pekerjaannya.

"Lima belas menit lagi sampai rumah," lanjut Lintang.

"Buruan, ada cowok cariin lo." Setelah kalimat itu, aku segera mematikan ponselku, lalu kembali untuk menghampiri Falisha dan juga lelaki tadi.

"Lo siapa? Ngapain kesini?" Setelah keterdiaman yang terjadi beberapa saat, Falisha membuka suara. Dia sendiri tidak tahan dengan kepekaan lelaki itu yang begitu minim.

Lelaki itu membenarkan kacamatanya sebentar, lalu berdehem pelan, "Gue Adit, temennya Lintang," jawabnya singkat.

Falisha tidak menggubris perkataannya, namun, segala jenis pertanyaan akan selalu dia tanyakan kepada Adit, sampai dia benar-benar tau bahwa Adit adalah lelaki yang baik untuk Lintang.

"Terus?" tatapan Falisha terlihat angkuh, sambil bersedekap, menatap lelaki itu. Pun Adit, lelaki itu seolah tidak ada takutnya kepada Falisha. Ditatap dengan tatapan seperti itu, membuat pandangannya yang tadinya teduh, kini berubah menjadi tajam.

"Mau ngapain?" Falisha melanjutkan kalimatnya yang sempat dia jeda sebentar.

"Gue mau ngajak Lintang jalan, hari ini sabtu, kan? besok weekend." Jawab Adit dengan sekali tarikan napas.

"Mau jalan kemana? Pulang jam berapa?" Pertanyaan Falisha belum benar-benar selesai, namun sebuah suara menghentikan segala pertanyaan yang akan menginterogasi Adit.

"Heh temen gue lo apain anjir. Takut tuh, anak orang." Suara Lintang terdengar begitu panik, seolah takut kalau Adit akan menjauhinya.

"Tenang aja kali Lin, lagian bener pertanyaan dia. Aku kan mau izin buat ajak kamu keluar, jadi emang mereka harus tau." Suara yang tadinya tegas disertai tatapan setajam elang, kini berubah menjadi begitu teduh.

"Eh, lo ngomong sama gue jutek, giliran sama Lintang aja sok kalem. Udah lah, kak, cowok kayak gini nggak punya tata krama. Masuk lo." Nada Falisha terdengar ketus, membuat Lintang sedikit panik.

"Ett, jangan gitu dong Sha, ada tamu biarin masuk dulu," kata Lintang, sedikit memohon.

"Yaelah, kalau gitu doang lo belain gimana nantinya dia mau jagain lo, kak? udah lah, kak. Skip." Baru saja Falisha mau mengajak Lintang masuk, Lintang menarik tangannya.

"Ih, Ya, nggak bisa dong. Ayo lah, Lan, bantuin gue yakinin Lintang." Tatapan Lintang beralih ke arahku, terlihat sedikit memohon. Aku sendiri tengah bingung harus membantu dengan cara seperti apa.

"Lo segitunya belain dia deh, kak, katanya cuma temen? kok panik gitu?" perkataan Falisha benar-benar membuat Lintang terdiam, dengan raut wajah tidak enak entah kepada Falisha ataupun Adit.

"Jangan mau diajak HTS, kak. Lo sendiri nyuruh gue putus sama cowok gue, tapi mau-mauan aja lo diajak HTS sama orang lain." Kali ini, kalimat Lintang benar-benar sedikit keterlaluan.

Namun, baru saja aku akan membuka suara, Adit kembali bersuara, mencoba menenangkan Lintang yang terlihat sedikit panik.

"Lin, nggak papa tau. Lagian temen kamu bener, kita juga deket doang, cuma temen. Gimana mau seenaknya aja ajak jalan kamu."

Aku memandang mereka dengan pandangan datar, masih enggan untuk ikut campur ke dalam obrolan yang tengah mereka lakukan.

"Lintang, aku suka sama kamu. Aku nyaman, dan juga sayang sama kamu. Sama kamu aku bisa ketawa bebas, sama kamu, aku bisa ngerasa nyaman, sama kamu aku bisa dapat pelukan, sama kamu juga aku bisa ngerasain pulang. So, wanna be mine, Lin?" Kalimat Adit yang terkesan tanpa aba-aba membuatku dan Falisha spontan menatapnya dengan pandangan yang begitu terkejut. Jangan ditanya bagaimana ekspresi Lintang saat ini, sebab ekspresinya sudah jelas kalau tengah terlihat begitu malu.

Salting. Tipe-tipe perempuan kalau ditembak gebetan gitu. Terlebih, Adit nembaknya tepat didepan aku dan juga Falisha.

Adit menaikkan sebelah alisnya, pertanda kalau dia tengah menunggu jawaban Lintang. "Iya, Dit. You're mine, and i'm yours," jawab Lintang, sudah pasti dengan perasaan gugup dan juga tegas dalam satu waktu.

Aku dan Falisha masih menatap keduanya terkejut, namun nggak bisa bohong juga kalau aku ikut senang temanku nggak terjebak hubungan nggak jelas.

"Loh, ada tamu kok nggak disuruh masuk?" Suara bu Aya membuyarkan kesan romantis yang kini tengah mendominasi. Membuat seluruh pandangan kini beralih kepada bu Aya yang baru saja kembali dari pasar. Disebelahnya, Damara dan juga Senja tengah menatap dengan pandangan sedikit bingung.

Senja mendekat ke arahku, sembari memakan es krim yang masih ada digenggamannya. "Siapa?" dia sedikit berbisik kala menanyakan pertanyaan itu, membuat pandanganku yang tadinya menatap bu Aya, kini menoleh ke arahnya.

"Pacar kak Lintang," jawabku, sedikit berbisik.

"Uhukk Hah?" teriakannya yang sedikit keras membuat seluruh pandangan menoleh ke arahnya. Dia tersenyum canggung.

"Sejak kapan?" Senja kembali bertanya kepadaku, ketika semua orang sudah fokus dengan obrolan yang tadi sempat tertunda.

"Barusan," jawabku, sedikit berbisik, menyamakan nada suara Senja yang sejak tadi masih saja berbisik.

"Emm, bu, saya mau izin, ngajak Lintangnya keluar, mungkin nanti pulang sekitar jam sembilan malam." Adit meminta izin secara langsung kepada bu Aya, lalu beliau membalas dengan senyuman.

"Iya, silahkan. Tapi inget ya, janjinya pulang jam sembilan, berarti udah harus sampai rumah jam sembilan." Bu Aya berbicara dengan santun namun terdengar tegas.

"Ayo, masuk dulu. Sekalian nunggu Lintangnya siap-siap," lanjut bu Aya.

Mereka semua masuk kedalam, tinggal aku dan juga Falisha yang diluar. Sedari tadi, aku menunggu respon anak itu soal Lintang dan juga Adit.

"Gue suka, nggak main-main langsung serius. Suaranya juga kalem. Semoga aja, sikapnya sekalem suaranya." Tanpa perlu ku tanya, Falisha membuka suaranya, membuatku tersenyum simpul.

"Iya, semoga aja dia nggak bego kaya lo ya, Sha," jawabku, lalu bergegas masuk sebelum mendengar umpatan Falisha.

"Dih anjing. Gue diem masih aja kena." Sembari berjalan masuk kedalam, aku tertawa simpul mendengar umpatan Falisha itu.

Not A Super WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang