5. Lintang

5 2 5
                                    

"Habis darimana?" tanya gue, ketika mendapati Damara sama Falisha baru aja memasuki rumah. Falisha menunjukkan sekantong belanjaan yang dia bawa. Tanpa dijelaskan sekalipun gue sudah tau kalau mereka berdua habis dari indomaret.

"Nih, mau nggak?" Damara menawarkan sebuah camilan, membuat gue menggeleng pelan. "Enggak, gue diet." Jawab gue singkat. Akhir-akhir ini, gue emang menjaga banget pola makan, terlebih ketika waktu malam sudah tiba. Kadang, gue iri sama orang yang berat badannya bakal tetap stabil meskipun dia banyak makan. Kayak Falisha, atau mungkin Kalana. Memang, berat badan gue yang tiba-tiba naik setelah makan ini udah merupakan gen turun temurun dari orang tua gue. Ya, meskipun berat badan gue nggak bongsor-bongsor amat. Tapi tetap aja, akan ada banyak orang yang bilang 'lo, gendutan deh, coba diet dikit'.

Emang kalau nurutin perkataan orang nggak akan ada habisnya, terlebih gue adalah budak corporate yang dituntut sempurna oleh perusahaan. Ada satu hal yang bikin gue kalah, jabatan gue bakal turun. Kalah cantik misalnya. Meskipun, standar cantik setiap orang berbeda-beda, tapi hal itu nggak pernah berlaku di perusahaan tempat gue kerja.

"Nih, minimal kalau nggak makan atau ngemil, minum Lin." Bu Aya menghampiri gue, melihat gue yang dari tadi cuma duduk sambil main hp.

"Air putih ajalah bu, jangan repot-repot. Lagian ibu kan tau sendiri, aku juga lagi diet." Rasa kesal dan juga nggak enak karena menolak minuman buatan bu Aya terlihat jelas dari raut wajah gue.

"Halah, diet-diet apaan. Lawong ini juga cuma jus," Kata bu Aya, menyodorkan segelas jus apel hijau ke gue.

"Lagian, jus apel hijau bagus buat diet. Kandungan seratnya banyak, jadi bisa mengontrol berat badan." Lanjutnya.

Gue bisa melihat kalau tatapan Falisha terarah ke gue, seperti akan mengucapkan sebuah kalimat. Dan benar aja, nggak lama setelahnya, Falisha membuka suara, "Lo nggak gendut-gendut amat kok, kak, nggak harus terlalu nuntut buat diet juga. Badan lo tuh, berisi. Seenggaknya, nggak kayak gue yang kurus kayak gini." Sambil minum jus apel hijau tadi, gue menatap Falisha.

"Tetep aja Sha, kalau nggak gue jaga, komentar orang ke gue bakal makin-makin. Gue nggak suka. Lo tau sendiri gue orangnya gimana."

"Repot kalau sudah nurutin perkataan orang lain nduk. Waktu buat dengerin diri sendiri juga bakal berkurang. Coba sesekali kamu lihat diri kamu, hati kamu, ini yang kamu mau bukan?" Nasehat bu Aya selalu masuk dengan tepat ke dalam pikiran gue. Terlebih, ketika beliau menasehati sambil mengusap pelan puncak kepala. Seperti yang saat ini dia lakuin ke gue.

"Tapi tetep aja, bu, mau kayak gimanapun kita nggak dengerin perkataan orang, kita punya telinga. Perkataan itu akan masuk ke dalam telinga kita, kan?" sangkal gue.

"Manusia emang punya dua telinga. Tapi, kita juga dianugerahi dua tangan. Gunakan tangan kamu untuk tutup kedua telinga, tapi jangan gunakan tangan kamu untuk tutup mata mereka. Emang susah, tapi kalau diusahain, mau sesusah apapun, pasti bisa." Kali ini, bu Aya bukan cuma ngomong ke gue, tapi nasehatin yang lain juga. Sebab, pandangan bu Aya, kini menatap mata anak-anak yang tengah duduk disana.

"Cuma kamu yang tau apa yang baik buat diri kamu sendiri, nduk. Ini dunia kamu, yang ambil keputusan di setiap pilihan, itu kamu. Jangan jadiin ekspektasi orang lain jadi tanggung jawab kamu, Lin. Itu bukan tugas kamu." Lanjut bu Aya.

Lagi-lagi soal ekspektasi. Harapan manusia ke gue terlalu berat. Gue yang harus selalu tampil cantik, sempurna, bahkan naik turunnya berat badan aja sampai jadi permasalahan yang membuat malam gue dipenuhi sama overthinking.

Geby, temen kantor gue ngehampirin gue. Duduk disamping meja gue, sambil nge-cek berkas-berkas. "Laporan bulan ini udah selesai, Lin?" tanyanya ke gue.

"Ditanya pak Aldo," lanjutnya. Pandangan Geby masih fokus ke berkasnya, pun dengan gue yang masih menyelesaikan laporan bulanan yang hampir aja selesai.

"Nah, udah. Nih baru aja mau gue kirim surel." Jawab gue, sambil meregangkan otot yang dirasa begitu kaku.

Suasana akhir bulan yang senantiasa dipenuhi oleh kerjaan kayak gini, selalu aja bikin capek. Tapi, ini lebih baik sih, daripada nggak ada kerjaan. Buang-buang waktu, lebih bikin capek.

"Lihat deh, Sera post foto lagi. Lo tau nggak sih, katanya dia lagi deketin cowok orang." Sesi pergosipan diantara gue sama Geby beneran dimulai. Kali ini, yang dibahas adalah Sera. Anak bagian administrasi yang kerjaannya pamer mulu.

"Iya kan Geb? bener dugaan gue. Pas kemaren gue jalan sama temen gue, gue ketemu dia lagi jalan sama cowok. Kelihatannya sih cowoknya udah berumur gitu, tapi masih kelihatan gagah." Gue mengubah posisi tubuh gue yang sebelumnya menghadap depan, kini jadi menghadap ke Geby.

"Masa iya dia jadi simpanannya om-om Lin." Kalau udah di jadiin satu sama Geby, gue bakal menjadi-jadi. Mulai soal pergosipan kantor, makan, traveling, bahkan soal makeup pun akan kita bahas. Geby, satu-satunya temen kantor yang bisa gue ajak ngobrol.

Gue sama Geby emang satu divisi. Sama-sama dari divisi marketing. Mungkin, itu yang jadiin gue sama dia nyambung kalau bahas apapun. Apalagi, setiap kali kemana-mana gue selalu bareng sama dia.

Yang jadi perbedaan diantara gue sama dia cuma satu hal. Geby yang udah punya pacar, dan gue yang masih asik sama dunia gue sendiri. Sebenernya, gue lagi deket sama orang. Namanya Adit. Gue sengaja nggak cerita ke anak-anak yang ngontrak di rumah bu Aya, karena masih dalam tahap pengenalan. Gue nggak mau terlalu ngarep karena takut nice try. Lagian, siapa sih yang suka kalau nice try terus?.

"Istirahat nanti makan apa?" Tanya Geby ke gue.

Gue diem sebentar, sembari memikirkan apa yang enak dimakan nanti. "Duh, nggak tau deh Geb. Enaknya makan apa ya? gue bingung." Jawab gue.

"Iya, anjir. Gue juga nggak tau."

"Lihat deh, padahal kerjaan kita masih banyak, njir. Tapi yang kita pikirin malah makan." lanjut Geby.

Gue emang suka banget jajan. Bahkan, gue bisa nahan buat nggak shopping, tapi gue nggak bisa kalau harus nahan jajan. Terlebih kalau lagi ada promo di solaria. Nggak bisa banget ditahan.

***

Ponsel gue berbunyi, ngebuat gue segera untuk membukanya. Sebuah telepon dari Kalana.

"Kenapa Lan? Nggak biasanya lo telepon gue jam segini." Tanya gue, ketika panggilan itu udah gue angkat.

"Pulang jam berapa?" tanyanya ke gue.

"Ini kerjaan gue udah kelar kok. Baru aja mau siap-siap." Gue segera membereskan meja kerja gue, sambil lihat jam dinding yang nempel tepat di tembok yang sejajar sama gue.

"Lima belas menit lagi sampai rumah." Lanjut gue.

"Buruan, ada cowok nyariin lo." Kalimatnya ngebuat gue terkejut. Buru-buru gue cek whatsapp gue, ada sebuah pesan masuk dari Adit.

Lin, aku dikontrakan kamu

Anjing.

Not A Super WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang