12. Menahan Emosi

188 44 10
                                    

Dari teras rumah bisa Nara lihat dengan jelas motor Scoopy hitam yang kini sudah di depan pagar rumahnya itu adalah milik Dava Ravelino. Dari depan sana laki-laki itu membuka kaca full facenya sembari menyunggingkan senyum ke arah Nara yang sudah berkacak pinggang.

Sebelum menghampiri Dava, Nara sejenak mengatur napasnya untuk menetralisirkan rasa emosi. Kemudian dengan raut masamnya, ia melangkah mendekati laki-laki yang kini masih bisa tersenyum disaat ketika perasaan gadisnya telah dibuat kesal.

"Aku mau izin dulu sama mama ya." kata Dava saat Nara sudah berdiri di hadapannya.

"Kamu tuh lihat nggak ini udah jam berapa?!" ketus Nara.

"Sebentar, Ra. Berangkatnya juga jam sembilan kan?"

"Persiapannya Dava, aku ini anggota inti. Kamu ngerti nggak sih?!" hardik Nara. Wajahnya memerah, entah menahan tangis atau benar-benar emosi. Dava tidak tahu.

Dava tidak menjawab, ia hanya diam memandangi dengan tatapan datar biasa saja. Ingin membela diri juga dia tidak bisa, sebab posisinya memang dia yang salah.

"Lagian tadikan aku udah bilang sama kamu, aku perginya bareng Nathan aja. Kamunya malah ngeyel bilang tetap sama kamu! Jadinya ya gini, akunya telat. Aku di marahin senior, Dava!" sengaja Nara menekankan kata senior saat melihat perubahan raut wajah Dava ketika ia menyebut nama Nathan.

"Aku ke dalam bentar." pungkasnya.

Sorot mata tajam dari laki-laki itu membuat Nara tidak berani menatap dan hanya memilih diam saat Dava melenggang pergi dari hadapannya.

o0o

Selama di perjalanan menuju kampus, Nara maupun Dava tidak ada yang memulai percakapan sekalipun. Dan setelah hampir 20 menit lamanya habis di perjalanan, mereka sampai juga di area kampus Fakultas Kedokteran— tempat perkumpulan.

Nara yang sudah turun dari motor lebih dulu, belum juga membuka helmet yang ia kenakan. Dava yang melihat itu hanya bisa menghela napas jengah, kemudian ia membuka pengait helmet itu dan melepaskannya dari kepala Nara.

"Makasih." ucap Nara.

Laki-laki itu tidak menjawab, membuat sang perempuan mendengkus sebal. Lantas Nara meraih tangan Dava untuk ia genggam, sementara sang empu hanya menoleh dengan pandangan bertanya.

"Marah ya?" tanyanya.

Dava menggeleng, ia menarik tangannya dalam genggaman Nara. Kemudian memasang kacamata bening yang sering ia kenakan.

Kalau ditanya Dava itu minus ya? Jawabannya adalah tidak. Dava memang sering menggunakan kacamata untuk sekedar aksesoris saja.

Setelah kacamata sudah bertengger di hidung mancungnya, Dava menoleh lagi ke arah Nara. "Kenapa nggak masuk? Katanya telat."

"Telat juga kan gara-gara kamu." cetusnya.

"Terus ini maunya aku temenin masuk? Biar ada pembelaan kalau telat datang itu karna aku?"

"Nggak mempan juga."

"Yaudah sana masuk."

Nara menatap dengan sorot mata tidak suka. "Kamu tuh emang nggak pernah pengertian ya, Dav."

"Ya terus maunya gimana sayang? Kita masuk barengan?"

Belum sempat gadis itu menjawab, Dava sudah berkata lagi. "Yaudah, ayo masuk."

"Sebentar." Nara menarik tangannya dari genggaman Dava.

"Apalagi?"

"Kok jadi kamu yang marah-marah?"

Boyfriend • 5 [] Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang