Dentuman musik memenuhi pendengaran, alkohol bercampur pekatnya aroma rokok menyambut Aurora dalam dunia yang serasa asing baginya. Manik hazel milik Aurora memindai penuh segala sisi ruangan, meski gemetar, ia berusaha menguatkan dirinya dan berusaha menemukan sosok yang ia cari sejak ia menginjakkan kaki di club mewah ini.
Tak jarang beberapa kali laki-laki menggoda Aurora karena memang paras Aurora mampu membuat kaum adam bertekuk lutut, kecantikan yang sayangnya tak pernah mampu memikat sosok yang ia cinta dalam hatinya. Manik hazelnya menajam saat menemukan sosok yang cari sibuk bercumbu dengan perempuan lain. Begitu panas dan bergairah.
Aliran darah Aurora seolah terhenti ketika bahkan orang-orang di sekeliling dua orang yang bercumbu itu bersorak keras. Mata Aurora terpaku, sejenak ia merasakan pandangannya mengabur karena tertutup liquid bening yang berusaha keluar dari pelupuk matanya. Aurora kelu, bahkan meski hanya untuk memanggil laki-laki yang namanya terukir indah pada cincin di jari manisnya saja ia seolah tak mampu.
"Aric.." panggilnya lirih namun mampu membuat seluruh mata tertuju kearahnya.
Debaran itu masih begitu terasa ketika manik abu-abu menatapnya terkejut. Kaki Aurora lemas namun sekuat tenaga ia berusaha berdiri kokoh, Aurora hanya diam ketika sosok Aric mendekat padanya. Aroma vanilla dari perempuan itu melekat erat pada tubuh Aric, rasanya Aurora ingin muntah sekarang. Perpaduan antara alkohol, vanilla, dan rokok menyatu bagaikan racun dalam penciuman Aurora.
Tak ada isakan yang lolos dari bibir ranum Aurora, namun tatapan dan jejak air mata di pipinya cukup untuk menunjukkan seberapa terlukanya Aurora kini.
"Ra.."
Aurora tersenyum tipis, menatap Allaric tanpa benci sedikitpun. "Aku harus apa, Ar?" Lirihnya.
Allaric tertegun.
"Aku harus apa untuk benci kamu, Ar?" Tanya Aurora lirih hingga bahkan Allaric pun kelu menjawabnya.
Kini Aurora merasa club itu sepi, hanya berpusat pada dirinya dan Allaric yang entah akan menjadi apa akhirnya. Jemari lentik Aurora mengusap pelan rahang kokoh yang selalu menjadi daya tarik Allaric selain manik abu kesukaan Aurora. Apalagi jika manik itu menatapnya penuh sayang, namun semua hanya sebuah perandaian yang tak pernah menjadi nyata.
Allaric bagaikan fatamorgana bagi Aurora.
Jemari Aurora menjauh dari wajah Allaric, ditatapnya kembali wajah bak dewa yunani itu dengan manik hazel yang meredup. Binar cerah di manik hazel Aurora seolah pudar saat ini, tak ada lagi kilatan bahagia di sana.
"Vanilla selalu jadi kesukaan kamu, right?"
Aurora menunduk, terpaku pada sepatu putih dan sepatu abu-abu yang beradu diatas gelapnya lantai club malam ini. Senyum tipis terbit di bibir Aurora, "Vanilla dengan semua kebaikannya, Vanilla dengan keberaniannya, Vanilla dengan kecantikannya, Vanilla dengan pesonanya. Semua tentang Vanilla-"
Manik hazel berhias liquud bening itu bertemu manik abu yang menatap lekat padanya, "-sampai kamu lupa, kamu punya Aurora sebelum kamu bertemu Vanilla"
Allaric kelu, diamnya membuat Aurora semakin mengerti. Dilihatnya Vanilla yang menunduk tak mampu menatapnya, pun pula semua orang di club yang menatapnya tak nyaman. Aurora mengerti, ia memang tak akan pernah bisa menyandingkan diri bersama Allaricov Razeus Maximillan ketua geng Xavierous yang bagaikan dewa Zeus di jalanan. Aurora bukan Vanilla Marvalia yang ternyata Queen Rancing ternama dan mampu membuat semua kaum adam berlutut di bawah kakinya. Aurora hanyalah Aurora.
"Aku nyerah Ar, aku capek. Genggam Vanilla, kamu sekarang bebas dari hubungan pertunangan ini" ujar Aurora sambil mengusap rahang kokoh Allaric
"Karena sekeras apapun aku berusaha ubah alur, kamu tetap nggak akan pernah jadi takdir aku" Aurora menjauhkan tangannya dan mulai meninggalkan area club, mengabaikan tatapan Allaric yang menyorotnya sendu.
Vanilla yang mengetahui perasaan Allaric pun mendekat dan memeluk Allaric erat. "Aku di sini untuk kamu, Al"
Allaric masih menatap kepergian Aurora namun tangannya melingkar indah di pinggang Vanilla dan merengkuhnya erat seolah enggan kehilangan untuk kedua kalinya.
■■■■
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
FantasyAurora tersenyum tipis, menatap Aric tanpa benci sedikitpun. "Aku harus apa, Ar?" Lirihnya. Aric tertegun. "Aku harus apa untuk benci kamu, Ar?" Tanya Aurora lirih hingga bahkan Aric pun kelu menjawabnya "Vanilla selalu jadi kesukaan kamu, right?" ...