Denting lift terdengar begitu nyaring ketika kaki berbalut sneakers itu berhasil menapaki area suite room salah satu hotel ternama milik Adikarsa group, senyuman miring terlukis membentuk sebuah senyuman menawan bagi kaum adam. Aura penuh pesona menguar begitu saja meski Aurora hanya menatap dingin ruangan dihadapannya.
"Main di kandang sendiri, huh?" Gumam Aurora pelan penuh malas.
Digenggamnya knop pintu yang menampakkan pemandangan kota dari lantai 10 hotel Adikarsa. Jendela besar yang langsung mengarah keluar seolah mampu membuat pengunjung meraih langit dalam genggamannya. Langkah kaki Aurora semakin mantap melangkah masuk tanpa ragu, manik hazelnya memindai setiap inchi apapun yang ia temui. Hingga akhirnya Aurora menemukan sosok Vanilla di area pantry yang sedang menegak segelas cola dalam genggamannya.
"Aurora"
Aurora hanya diam, menatap Vanilla yang kini terkekeh menatapnya. Ditatapnya Vanilla yang kini nampak kacau dengan mata panda yang terlihat jelas pada kantung matanya.
"Gue salut lo berani dateng ke sini, sendirian pula" kekeh Vanilla yang kembali hanya dibalas diam oleh Aurora.
Vanilla meletakkan gelas hingga terdengar suara keramik yang beradu dengan gelas kaca, "-karena gue yakin kalau Aurora yang dulu gue tau, nggak akan pernah seberani ini"
Aurora terhenyak, maniknya menatap lekat Vanilla yang kini hanya tertawa kecil menatapnya. Langkah Vanilla semakin dekat, namun Aurora pun tak mundur dari tempatnya. Lantas membiarkan Vanilla kini berdiri dihadapannya dengan senyuman puas, maniknya memindai penuh pada Aurora dengan penuh ejekan.
"Cuma orang bodoh yang terjebak dua kali di lubang yang sama" balas Aurora seraya tersenyum namun maniknya melirik tajam pada Vanilla.
"Lo pikir dengan perubahan lo ini bisa ubah semuanya?"
Aurora berlalu melewati Vanilla, "Gue nggak peduli, kalaupun perubahan itu kecil atau bahkan nggak ada. Gue cuma mau perbaikin apa yang gue bisa"
Tawa Vanilla meluncur begitu saja sesaat setelah mendengar perkataan Aurora, ia berdecih sebelum berakhir menjauh dari Aurora dan menatap Aurora dari bawah hingga atas.
"Munafik" ejek Vanilla, maniknya menatap tajam sosok Aurora.
"-lo mau semuanya, lo serakah. Bilang aja Aurora, lo mau semua yang gue punya di masa lalu!"
Kali ini langkah Aurora mantap hingga pucuk sepatunya berdiri tepat di depan pucuk sepatu Vanilla, senyumnya miring terlukis begitu menawan.
"Jangan sampai gue harus bunuh lo dulu supaya malaikat kasih tau ke lo kalau semua yang lo punya di masa lalu itu milik gue, Vanilla Marvalia" desis Aurora tajam.
Vanilla mendorong Aurora mundur, maniknya semakin dalam penuh dendam pada Aurora. "Kenapa harus lo, Ra?!"
"Kenapa hidup lo selalu sempurna?! Kenapa dulu maupun sekarang lo selalu menang?!"
Aurora hanya menatap Vanilla dingin, mengabaikan teriakan Vanilla yang menggema keras.
"Gue benci lo, Aurora Navycalista Haidar!"
"Apa yang bikin lo benci gue, Vanilla?" Akhirnya pertanyaan itu lolos dari bibir Aurora, maniknya menatap nanar sosok Vanilla yang juga membalas tatapannya dengan penuh amarah.
"Lo tanya gue?-" Vanilla berdecih, "-bahkan semua orang tau. Aurora Navycalista Haidar, manusia paling sempurna di dunia ini!"
"Gue benci semua kata sempurna, gue benci lo yang sempurna! Gue benci lo yang selalu dapet apa yang lo mau!"
Aurora hanya diam, namun maniknya menatap dingin sosok Vanilla. "Sesederhana itu?" Lirihnya.
"Sederhana?! Lo pikir hidup gue yang jauh dari kata sempurna ini bisa untuk jadi sesempurna hidup lo, Ra?! JAWAB GUE!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
FantasyAurora tersenyum tipis, menatap Aric tanpa benci sedikitpun. "Aku harus apa, Ar?" Lirihnya. Aric tertegun. "Aku harus apa untuk benci kamu, Ar?" Tanya Aurora lirih hingga bahkan Aric pun kelu menjawabnya "Vanilla selalu jadi kesukaan kamu, right?" ...