01| Start

117K 8.4K 101
                                    

Kepulan asap menyeruak menimbulkan aroma menenangkan yang berasal dari secangkir coklat panas, namun sepertinya aroma itu tak mampu membuat pikiran gadis yang sedang termenung itu tenang. Sejak tadi gadis itu hanya melamun dan sesekali meneteskan liquud bening dari manik hazelnya yang indah. Gadis itu termenung, helaian rambut panjang berwarna dark brown miliknya berterbangan tertiup angin malam. Tak ada yang lebih indah dari puluhan bintang di langit malam ini.

Aurora Navycalista Haidar

Orang bilang nama adalah cerminan diri, begitu pula Aurora. Parasnya yang menawan dengan manik hazel dan tubuh ideal bak model sukses membuat kaum adam meleleh memandangnya, putri satu-satunya keluarga Haidar itu memang bagaikan Aphrodite yang turun ke bumi, begitu cantik.

Malam ini seolah berbanding terbalik dengan gemerlapnya ribuan bintang di langit, hati Aurora mendung bak tanpa bintang. Sejak tadi tangisnya tak pernah berhenti lolos dari mata indahnya, bahkan tatapannya kosong tanpa binar, bibir ranum yang biasanya melengkung menebar senyuman itu kini pucat tanpa rona sedikitpun.

"Kenapa? Kenapa di saat aku udah rela lepasin kamu, takdir seolah mempermainkan aku?" Lirih Aurora putus asa, hatinya berdenyut nyeri.

Aurora menangis terisak, "Kenapa aku harus kembali di saat semuanya baru akan di mulai? Aku nggak mau" tangisnya pecah

Pagi ini, ia terbangun tepat dua tahun sebelum akhir dari ceritanya terjadi. Akhir dimana ia memilih menerima semua yang terjadi dan melepaskan semua duka maupun bahagianya bersamaan dengan silaunya lampu mobil yang berhasil merenggut nyawanya malam itu. Namun takdir seolah sedang mempermainkan dirinya, ia kembali pada kehidupannya dulu.

Orang lain mungkin akan bahagia, tapi tidak dengan dirinya. Kembali pada dua tahun sebelum nyawanya terenggut berarti ia harus kembali menyaksikan kematian abangnya, keluarganya yang hancur, kekasihnya memilih perempuan lain, bahkan ia dibenci satu sekolah karena dianggap sebagai perusak hubungan Allaric dan Vanilla.

Aurora benci. Benci ketika tak pernah mampu untuk bersuara, mengungkapkan sosok dirinya yang sebenarnya, ia bahkan tak mampu mencegah kematian abangnya yang menjadi pukulan terberatnya. Penyesalan ada pada dirinya sendiri, bukan dendam pada orang lain yang membuatnya kehilangan. Aurora bahkan tak pernah menyimpan dendam pada Vanilla, meski kenyataannya Vanilla berperan besar dalam hilangnya sosok Allaric dalam hidupnya.

Aurora benci dirinya yang lemah seperti ini. Aurora ingin berhenti, namun semesta seolah membuat Aurora harus kembali berjuang mengumpulkan kembali kepingan harapannya.

Ketukan pintu mengalihkan tatapan Aurora, ia bergegas mengusap jejak air matanya dan tersenyum lebar menyambut abangnya yang ternyata mengetuk pintu kamarnya.

"Abang boleh masuk, Ra?" Axelio Navendra Haidar, abang Aurora yang hanya terpaut dua tahun lebih tua dari adiknya.

"Iya"

Axel mendudukkan dirinya disamping Aurora, menatap manik hazel yang senada dengan maniknya itu dengan seksama. Diusapnya dengan lembut kepala adiknya, "Kenapa? Ada yang nyakitin kamu, Ra?" Tanyanya lembut

Mata Aurora memanas, "Mau peluk, boleh?"

Axel tertawa ringan lantas menarik adiknya masuk dalam dekapannya, mengusap surai coklat panjang milik Aurora. "Tinggal peluk aja, Ra" kekehnya.

Aurora mengeratkan pelukannya, air matanya perlahan luruh. Aurora masih ingat dengan jelas ketika semua orang mencacinya di sekolah karena tuduhan yang tak mendasar ditujukan padanya, pelukan ini yang ia butuhkan. Aurora merindukan pelukan ini ketika orang tuanya bertengkar hingga bercerai. Aurora menginginkan pelukan ini ketika seluruh dunia bekerja sama untuk membencinya, di saat ia sendiri, pelukan inilah yang ia harapkan.

"Adek abang kenapa nangis, hm?"

Aurora mengurai pelukannya, "Bang, kalau misal abang dikasih kesempatan untuk kembali ke masa lalu. Apa yang bakal abang lakuin?"

Axel nampak menatap Aurora lekat, "Kenapa tanya gitu?"

"Y-ya tanya aja. Abang jawab dong, kan Aura tanya"

"Kamu nanya?" Tawa Axel pecah dan di balas cubitan maut oleh Aurora

"Aura tanya serius, bang"

"Iya iya. Em, kayaknya abang lebih milih buat perbaiki diri dan genggam erat apa yang abang punya. Belajar dari kesalahan yang abang punya dulu dan mencoba melakukan yang lebih baik di kesempatan itu. Selagi ada kesempatan, perbaiki semuanya. Selama mau berusaha, abang percaya semuanya akan lebih baik dari sebelumnya"

Aurora tertegun sejenak, meresapi perkataan abangnya. Terlalu larut dalam lamunannya menbuat Aurora tak menyadari bahwa Axel telah meninggalkan kamarnya.

"Jangan tidur kemaleman ya, abang mau ke markas dulu" perkataan itu yang mampu menyadarkan Aurora dari lamunannya. Dapat Aurora lihat senyuman tipis yang nampak penuh makna terlukis di bibir abangnya sebelum benar-benar meninggalkan kamarnya.

Axel memang tergabung dalam Velcon. Perkumpulan yang tak jauh berbeda dengan Xavierous, untungnya kedua geng tersebut tidak saling berlawanan. Seringkali Xavierous dan Velcon mengadakan acara bersama. Bahkan Axel dekat dengan Allaric, hal ini pula yang dulu membuat Axel kehilangan nyawanya, menyelamatkan Allaric. Axel mungkin berpikir dengan ia menyelamatkan Allaric, adiknya akan tetap memiliki rumah untuk mengadu. Namun sayangnya pengorbanan itu sia-sia, Aurora justru semakin hancur.

Aurora menatap langit malam itu sembari merenungkan perkataan abangnya beberapa menit lalu.

'Selagi ada kesempatan, perbaiki semuanya' kalimat itu terngiang jelas di pikiran Aurora

Tekad Aurora bulat. Tidak akan ada lagi Aurora yang diam ketika seluruh dunia mencacinya, tidak ada lagi Aurora yang hanya tersenyum pasrah ketika miliknya perlahan di renggut begitu saja. Aurora akan lebih berani di kehidupan kali ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan kehilangan apapun di kehidupan kali ini.

■■■■
22 Februari 2023

To be continue🐾


IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang