Hari kembali berjalan seperti biasanya, matahari bersinar terik sementara awan sibuk bersembunyi entah dimana. Oxyzen begitu ramai pagi ini, beberapa murid nampak baru saja datang ke sekolah, termasuk Aurora. Saat sampai di koridor, Aurora tertegun. Kerumunan manusia melingkar di depan mading sekolah, lantas sorot mereka menatap tajam pada arahnya.
Aurora terkejut, beberapa orang berbisik sambil menatapnya. Pun sesekali menatap kembali mading sekolah. Aurora mencoba acuh, kembali berjalan dengan langkah pelan menyusuri koridor. Pikiran Aurora berkecamuk, dia seolah tenang namun hatinya resah tak karuan. Ingatan masa lalu kembali menghantui Aurora.
'Apa semuanya bakal sama?' Batin Aurora.
Saat Aurora melalui kerumunan manusia itu, pandangan mereka tetap mengarah pada arah belakang Aurora. Ia menoleh, manik hazel itu menemukan sosok Vanilla yang menunduk menatap lantai koridor. Telinga Aurora mulai mendengar beberapa perkataan untuk Vanilla, tak jarang hujatan pun ditujukan pada Vanilla.
"Bukannya dia anaknya chef terkenal yang ternyata suka jual diri itu ya?"
"Kasian ya"
"Katanya restoran mama-nya di tutup"
"Bukan katanya lagi, emang bangkrut"
"Dia tau ayahnya siapa nggak ya? Secara, mama-nya kan banyak main sama laki-laki"
Aurora kelu. Tepat di mana Vanilla berhenti, posisi itu adalah tepat dimana Aurora pernah dicela, Aurora pernah dimaki bahkan di benci tanpa Aurora tau alasannya. Dan posisi ini, tepat ia berpijak saat ini adalah tempat Vanilla di masa lalu. Dulu, Vanilla hanya menatapnya dengan sorot penuh kepuasan bahkan enggan memberikan kebenaran meski hanya setitik saja.
Aurora menatap Vanilla lekat, disaat bersamaan, Vanilla pun menatapnya. Tatapan itu penuh akan kemarahan, tatapan yang penuh akan dendam yang entah bagaimana mampu Vanilla miliki untuk Aurora.
'Harusnya aku yang marah sama kamu, Vanilla' batin Aurora dengan tatapan yang tak lepas dari Vanilla.
Aurora memilih acuh, berbalik lantas meninggalkan Vanilla sendirian di koridor dengan semua orang yang sedang mencacinya. Aurora tidak lagi peduli pun pula tidak ingin peduli tentang Vanilla, karena esok pembalasan Aurora akan lebih menyakitkan untuk Vanilla.
'Aku akan kasih kamu kesempatan untuk menikmati semuanya secara perlahan, Vanilla' Aurora berhenti sejenak, tersenyum tipis namun tak berbalik menatap Vanilla yang sudah tertinggal cukup jauh.
Ketika Aurora telah jauh dari koridor, dengan segera Vanilla berjalan cepat ke arah rooftop sekolah, setelah sampai di rooftop, Vanilla memilih mengurung dirinya di gudang.
Vanilla berteriak keras dari gudang yang berada di rooftop, tangisnya pecah. Hatinya remuk bagaikan kaca yang tak mampu untuk ia susun kembali, mimpi itu ternyata adalah masa lalunya. Potongan mimpi yang setiap malam menghantuinya adalah kilasan masa laluinya, masa lalu yang menyakitkan dan pada kehidupan kali ini pun menyakitkan.
"Aurora, lo adalah sumber dari semua masalah gue. Dulu, maupun sekarang" Vanilla menatap kosong langit-langit gudang.
Sang mama kini terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit setelah mengetahui bahwa seluruh restoran miliknya gulung tikar tanpa sisa, bahkan rumah mewah mereka pun terancam disita oleh bank. Keadaan itu semakin diperparah ketika beredar secara luas foto-foto tidak senonoh mengenai sang mama, yang sialnya adalah sebuah fakta telak yang tak mampu Vanilla tepis.
Vanilla harus membanting tulang dengan balapan liar setiap malam, harga dirinya terinjak-injak. Jika ia biasanya akan mendapatkan hadiah mewah, kini apapun tawaran yang dijanjikan oleh sang lawan akan Vanilla ambil, bahkan meski hanya bernilai sedikit. Vanilla butuh uang, bahkan meski hanya sepeser koin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
FantasyAurora tersenyum tipis, menatap Aric tanpa benci sedikitpun. "Aku harus apa, Ar?" Lirihnya. Aric tertegun. "Aku harus apa untuk benci kamu, Ar?" Tanya Aurora lirih hingga bahkan Aric pun kelu menjawabnya "Vanilla selalu jadi kesukaan kamu, right?" ...