Kamar bernuansa putih dengan aksen pink di beberapa sudut berhasil menggambarkan sosok Aurora Navycalista, begitu tenang dan manis. Ruangan itu hening tanpa suara ketika sang pemilik sibuk duduk di atas karpet putih yang ada di kamar ditemani sebuah boneka Lotso besar dan buket bunga mawar pink di depannya. Perlahan Aurora meraih buket pink pemberian tunangannya, ia tersenyum kecil.
Aurora meraih satu tangkai mawar pink dalam buket, "Kamu kasih aku bunga yang cantik, tapi kamu lupa kalau mawar juga bisa buat aku luka"
Aurora meletakkan mawar pink itu dengan asal disampingnya, sejenak terdiam menatap kosong boneka Lotso besar dihadapannya. Aurora memeluk lututnya, perlahan Aurora menunduk dan tak lama bahunya mulai bergetar di susul bulir bening yang mengalir dari kedua manik hazelnya. Tangan Aurora menjadi dingin dan gemetar.
"Aura takut.." bisiknya.
Aurora tidak pernah membayangkan mendapat kehidupan kedua, ia ingin memperbaiki semuanya. Namun selalu ada ketakutan dan trauma yang menyelimutinya, ia takut akan terjadi hal yang sama untuk kedua kalinya. Tidak ada satupun yang mampu mengerti posisi Aurora, ia tak mampu bercerita pada siapapun mengenai kehidupan keduanya. Aurora seolah sendirian menanggung semuanya.
Aurora bersyukur, sangat. Namun terselip pula rasa takut akan gagal dan kecewa yang kembali terulang, rasa sakit itu seolah baru kemarin Aurora rasakan dan ia tak akan siap untuk kembali merasakannya.
Aurora bergegas mengusap air matanya ketika pintu kamarnya diketuk pelan. "Iya?" Tanyanya berusaha menetralkan suaranya agar tidak terdengar serak.
Helena masuk dengan wajah berbinar, namun seketika senyumnya redup menatap Aurora yang nampak menunduk enggan menatapnya. "Aura, are you okay?" Tanyanya pelan sambil mendekat pada sang anak.
"Mau mama peluk?" Helena ikut terduduk di karpet putih yang ada di kamar anaknya. Aurora menatap mamanya penuh, segera ia memeluk mamanya erat. Tangisnya seolah tak terbendung, perasaan haru menyeruak dalam hatinya. Ada perasaan lega luar biasa mampu melihat mamanya dalam keadaan baik-baik saja.
Bayangan senyum lemah dengan manik redup mama-nya di kehidupan sebelumnya selalu membayangi Aurora setiap melihat mama-nya. Hati Aurora masih selalu berdenyut perih ketika memori itu berputar dalam pikirannya. "Aura sayang banget sama mama. Terus bahagia ya, ma"
Helena mengecup pucuk kepala putrinya, "Mama akan bahagia kalau Aura bahagia, jadi Aura harus senyum" ujarnya sambil terus memeluk putrinya yang akan selamanya menjadi putri kecilnya.
'Aura bersyukur, setidaknya di kehidupan ini mama bahagia. Aura janji akan selalu buat mama senyum, apapun akan Aura lakuin buat mama. Termasuk jauhin tante Margareta dari papa dan dari keluarga kita' manik Aurora berkilat dingin.
"Kamu nggak papa? Butuh tempat cerita?"
Aurora menggeleng sambil mengurai pelukannya, ia menatap ibunya yang juga hampir menangis karena dirinya. "Aura nggak papa, ma. Tadi Aura sedih aja, perasaan Aura kacau gitu. Tapi karena udah dipeluk mama, jadi udah ilang sedihnya"
Helena menggenggam tangan Aurora erat, senyumnya begitu lembut khas seorang ibu.
"Kalau ada apa-apa cerita ke mama ya? Mama selalu ada buat Aura"
Aurora mengangguk kuat, ia membalas genggaman ibunya tak kalah kuat. 'Aura pun berdoa semoga mama selalu ada buat Aura' ujarnya dalam hati.
"Mama tadi kenapa ketuk kamar Aura?" Tanya Aurora mengalihkan perhatian.
"Papa tadi mau ajak mama ke restoran buat dinner, tapi kayaknya mending dibatalin aja. Putri mama lagi sedih gini masa iya mau ditinggal" Helena mencubit kecil hidung Aurora, kemudian keduanya tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
FantasyAurora tersenyum tipis, menatap Aric tanpa benci sedikitpun. "Aku harus apa, Ar?" Lirihnya. Aric tertegun. "Aku harus apa untuk benci kamu, Ar?" Tanya Aurora lirih hingga bahkan Aric pun kelu menjawabnya "Vanilla selalu jadi kesukaan kamu, right?" ...